Artikel Unggulan

Istilah tentang Negara, Desa dan Rakyat oleh Sutoro Eko

8 Desa Membangun Indonesia: Posisi dan Relasi Baru

    

Kedudukan (posisi) desa dalam bangunan besar tatanegara Indonesia, sekaligus relasi antara negara, desa dan warga merupakan jantung persoalan UU Desa. Ketika pembahasan RUU Desa oleh pemerintah dan DPR dimulai pada bulan Januari 2013, Ketua Panja Akhmad Muqowam menyampaikan pertanyaan kritis kepada pemerintah: “Apa paradigma kita tentang kedudukan desa serta hubungan antara negara dengan desa?” Paradigma, atau asas, yang mengkonstruksi hubungan negara dan desa sebenarnya sudah tertuang secara eksplisit dalam naskah akademik, yakni rekognisi dan subsidiaritas, tetapi keduanya tidak tertuang dalam naskah RUU Desa yang disiapkan oleh pemerintah. 

Asas rekognisi-subsidiaritas hadir melalui proses yang panjang di saat FPPD dan Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan Ditjen PMD menyiapkan naskah akademik pada tahun 2007. Konstruksi awal yang muncul adalah bahwa desa merupakan bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota. Desa menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota. Sejumlah orang mengingatkan bahwa konstruksi itu salah besar. Ibnu Tricahyo berujar bahwa konsep desentralisasi desa itu tidak benar, tidak ada dalam konstitusi. Prof. Sadu Wasistiono mengatakan: “Penyerahan kewenangan dari kabupaten/kota itu tidak taat asas. Desentralisasi hanya dari pusat ke daerah”. Prof. Robert Lawang juga mengingatkan: “Jangan memandang dan mendudukkan desa dengan perspektif desentralisasi dan pemerintahan”. Intinya desa bukan menjadi bagian dari rezim pemerintahan daerah.

Saya sendiri menilai bahwa konstruksi “desa dalam daerah” merupakan konstruksi residualitas, artinya desa hanya menerima “sisa-sisanya” daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk Alokasi Dana Desa yang diatur dalam PP No. 72/2005. Kemudian saya menampilkan perspektif subsidiaritas untuk memandang dan meletakkan desa, yang waktu itu saya maknai sebagai lokalisasi penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan di tangan desa, terutama masalah-masalah atau urusan yang berskala kecil dan mampu ditangani oleh desa. Namun pada tahun 2007 saya belum memunculkan asas lain yang menggantikan desentralisasi.

Ibnu Tricahyo, Sadu Wasistiono, Yando Zakaria, Robert Lawang maupun AMAN menegaskan konsep pengakuan yang sudah tertuang dalam konstitusi untuk menggantikan desentralisasi, sebagai asas yang tepat untuk meletakkan kesatuan masyarakat hukum adat atau desa atau yang disebut dengan nama lain. Yando Zakaria dan AMAN secara tegas mengemukakan konsep rekognisi, meskipun AMAN emoh pada desa, sementara Yando menerima desa, atau yang disebut nama lain, sebagai bentuk kesatuan masyarakat hukum adat. Empat orang dan satu institusi itu memang tidak terlibat langsung dan intensif dalam penyusunan RUU Desa, tetapi kami bisa menangkap gagasan mereka melalui berbagai diskusi, dan kemudian kolega saya, AAGN Ari Dwipayana yang mengambil rekognisi (pengakuan dan penghormatan) ke dalam naskah akademik RUU Desa, 2007. Sedangkan saya sendiri memasukkan konsep subsidiaritas sebagai asas baru yang melengkapi asas rekognisi.

Meskipun rekognisi sudah dituangkan dalam naskah akademik sebagai asas untuk menempatkan kedudukan desa yang berbeda dengan kedudukan daerah, namun asas itu belum dipahami dan dielaborasi dengan baik oleh kalangan pemerintah pada naskah RUU Desa yang muncul pada bulan September 2007. Bahkan asas rekognisi yang mengacu pada Pasal 18 B ayat 2 itu belum tampak jelas pada naskah RUU Desa yang disodorkan oleh pemerintah kepada DPR pada awal 2012. Pemerintah lebih cocok menggunakan Pasal 18 ayat 7 yang sepadan dengan asas desentralisasi-residualitas, yang menempatkan desa sebagai pemerintahan semu, sama dengan UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004. Ketika Pansus RUU Desa DPR RI bekerja pada tahun 2012, isu dua pasal cantolan dan asas itu menjadi diskusi yang hangat, baik di dalam ruang Pansus maupun di luar Pansus. Dalam RDPU Pansus RUU Desa, Yando dengan lantang mengemukakan asas rekognisi, sementara saya, IRE, FPPD dan STPMD “APMD” mengedepankan asas rekognisi dan subsidiaritas.

Saya juga terlibat dalam diskusi yang digelar oleh Fraksi PPP, yang menghadirkan Dirjen PMD, Ketua Pansus Akhmad Muqowam, dan pakar pemerintahan desa dari Universitas Terbuka Hanif Nurcholis, 21 Juni 2012. Dalam diskusi itu saya melakukan elaborasi asas rekognisi dan subsidiaritas untuk merekonstruksi ulang kedudukan dan kewenangan desa. Hanif Nurcholis, yang mengklaim sebagai doktor dan pakar pemerintahan desa, menolak tegas konsep rekognisi. Dalam makalahnya yang panjang, Hanif sama sekali tidak menyebut rekognisi, sebab kata dia, rekognisi hanya akan membuat desa sebagai lembaga masyarakat yang dikontrol oleh negara. Karena itu dia merekomendasikan secara berbeda sebagai berikut:

Sudah waktunya Pemerintah dan DPR menata ulang Desa. Desa harus dimasukkan dalam sistem pemerintahan formal. Ada tiga jalan yang bisa ditempuh: 1) dijadikan kesatuan masyarakat hukum adat yang dimasukkan dalam sistem formal (konsepsi Soepomo); 2) dijadikan daerah otonom berbasiskan adat (konsepsi Hatta dan Yamin); dan 3) dijadikan unit pelaksana teknis kecamatan/menjadi kelurahan (pengintegrasian ke dalam kabupaten/kota). Akan tetapi, demi menjamin integrasi masyarakat desa dan sejalan dengan praktik pemerintahan desa yang sudah tidak berbasis hukum adat serta perkembangan masyarakat desa yang makin urban maka jalan yang paling rasional adalah jalan kedua: dijadikan daerah otonom berbasiskan adat istiadat (konsepsi Hatta dan Yamin).

Toh rekomendasi Hanif tidak diakomodasi oleh Pansus RUU Desa DPR RI. Ketika saya, Yando Zakaria, Suhirman dan Zen Badjeber bergabung dalam Panitia Kerja RUU Desa pada akhir Februari, 2013, diskusi mengenai Pasal 18 ayat 7 versus Pasal 18 B ayat 2 serta asas rekognisi dan subsidiaritas hadir kembali dan berlangsung alot. Setelah melalui proses diskusi yang panjang dengan kami, Ketua Pansus, Akhmad Muqowam, begitu fasih berbicara tentang kedua Pasal itu dan dua asas itu. Muqowam terus menerus berbicara dalam sidang Panja, bahwa kedudukan desa harus diletakkan dalam payung Pasal 18 B ayat 2 serta berdasar pada asas rekognisi dan subsidiaritas. Perdebatan yang panjang antara DPR dan pemerintah akhirnya membuahkan kesepakatan bahwa desa berdasarkan pada Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 18 ayat 7 serta berasaskan rekognisi dan subsidiaritas.

Ketika rekognisi dan subsidiaritas sudah ditetapkan secara resmi sebagai asas pertama dan kedua bagi kedudukan desa dalam UU No. 6/2014, banyak akademisi menyampaikan pertanyaan: apa yang membedakan antara desentralisasi dengan rekognisi-subsidiaritas, atau apakah rekognisi-subsidiaritas merupakan sisi lain dari desentralisasi. Ada juga pertanyaan: kalau teori dan praktik desentralisasi sudah lengkap tersedia, bagaimana dengan dasar teori rekognisi-subsidiaritas?

Rekognisi memang tidak lazim dibicarakan dalam semesta teori hubungan pusat dan daerah; ia lebih dikenal dalam pembicaraan tentang multikulturalisme. Dalam masyarakat multikultur, senantiasa menghadirkan perbedaan dan keragaman identitas baik suku, agama, warna kulit, seks dan lain-lain. Bahkan juga menghadirkan pemilahan antara mayoritas versus minoritas, dimana kaum minoritas sering menghadapi eksklusi secara sosial, budaya ekonomi dan politik. Kaum minoritas merasa menjadi warga negara kelas dua yang tidak memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan kaum mayoritas. Karena menghadapi eksklusi, tidak kelompok atau komunitas yang berbeda maupun kaum minoritas memperjuangkan klaim atas identitas, sumberdaya, legitimasi dan hak. Tindakan negara menghadapi klaim-klaim itu menjadi isu penting dalam pembicaraan tentang rekognisi.

Meskipun rekognisi lahir dari konteks multikulturalisme, tetapi ia terkait dengan keadilan, kewargaan dan kebangsaan; bahkan mempunyai relevansi dengan desentralisasi. Pada titik dasar, rekognisi terletak pada jantung kontestasi ganda di seputar kewargaan, hak, politik identitas, klaim redistribusi material dan tuntutan akan kerugian masa silam yang harus diakui dan ditebus (Janice McLaughlin, Peter Phillimore dan Diane Richardson, 2011). Kontestasi klaim inilah yang menjadi salah satu alasan lahirnya konsep desentralisasi asimetris di banyak negara, termasuk Indonesia, yang melahirkan otonomi khusus bagi Aceh dan Papua serta keistimewaan bagi Yogyakarta. Dengan kalimat lain, desentralisasi asimetris untuk tiga daerah itu, yang berbeda dengan daerah-daerah lain, karena dilandasi oleh rekognisi terhadap perbedaan dan keragaman.

Dalam konteks multikultural itu, beragam pengertian rekognisi hadir. Charles Taylor (1992), misalnya, memahami rekognisi dalam dua pengertian: “politik universalisme”, yakni proteksi terhadap otonomi individu, kelompok atau komunitas dengan cara menjamin hak-hak mereka; serta “politik perbedaan”, yakni proteksi terhadap identitas individu, kelompok atau komunitas dengan cara menghormati dan membolehkan mereka melindungi budayanya. Axel Honneth (1996) secara sederhana memahami rekognisi dalam dua pengertian, yakni: (a) menghormati kesamaan status dan posisi; (b) menghargai keberagaman atau keunikan. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan sosial. Bagi Honneth, keadilan sosial harus memasukkan provisi ruang bebas bagi setiap individu hadir dalam ruang publik tanpa rasa malu. Lebih radikal lagi, Nancy Fraser (1996) melihat rekognisi dalam konteks perjuangan politik untuk melawan ketidakadilan. Tujuan rekognisi bukan sekadar memberikan pengakuan, penghormatan dan afirmasi terhadap identitas kultural yang berbeda, tetapi yang lebih besar adalah keadilan sosial ekonomi. Bagi Fraser, rekognisi harus disertai dengan redistribusi. Kalau hanya berhenti pada rekognisi kultural hal itu mengabaikan redistribusi sosial-ekonomi sebagai obat ketidakadilan sosial dan perjuangan politik. Karena itu rekognisi dimengerti untuk mencapai keadilan budaya (cultural justice), dan redistribusi untuk menjamin keadilan ekonomi (economic justice).

Dalam belantara teori dan praktik rekognisi, desa atau yang disebut dengan nama lain, hampir tidak dikenal. Rekognisi umumnya mengarah pada daerah-daerah khusus (seperti Quebec di Canada maupun Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara di Inggris Raya), masyarakat adat (indigenous people), kelompok-kelompok minoritas, Afro Amerika, gender, kelompok-kelompok budaya atau identitas tertentu yang berbeda, dan masih banyak lagi. Namun dalam konteks Indonesia, desa atau yang disebut dengan nama lain, sangat relevan bagi rekognisi. Pertama, desa atau yang disebut dengan nama lain, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat merupakan entitas yang berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang disebut daerah. Kedua, desa atau yang disebut dengan nama lain merupakan entitas yang sudah ada sebelum NKRI lahir pada tahun 1945, yang sudah memiliki susunan asli maupun membawa hak asal usul. Ketiga, desa merupakan bagian dari keragaman atau multikulturalisme Indonesia yang tidak serta merta bisa diseragamkan. Keempat, dalam lintasan sejarah yang panjang, desa secara struktural menjadi arena eksploitasi terhadap tanah dan penduduk, sekaligus diperlakukan secara tidak adil mulai dari kerajaan, pemerintah kolonial, hingga pemerintah NKRI. Kelima, konstitusi telah memberikan amanat kepada negara untuk mengakui dan menghormati desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Siapa yang melakukan rekognisi terhadap desa? Apa makna rekognisi? Apa yang direkognisi? Bagaimana melakukan rekognisi? Sejumlah pertanyaan ini merupakan persoalan desain institusional rekognisi. Memang teorisasi tentang desain institusional rekognisi tidak selengkap teorisasi desentralisasi. Tindakan rekognisi bersifat kontekstual, dan juga tergantung pada hasil negosiasi antara negara dengan pihak yang menuntut rekognisi. Rekognisi yang mewarnai desentralisasi asimetris terhadap DKI Jakarta, Aceh, Papua dan Yogyakarta sungguh berbeda, bersifat kontekstual dan merupakan hasil negosiasi antara pusat dengan daerah. Otonomi khusus untuk Papua dan Aceh, misalnya, disertai redistribusi ekonomi (dana otonomi khusus dan dana bagi hasil SDA yang berbeda) sebagai bentuk jawaban atas ketidakadilan ekonomi yang menimpa dua daerah tersebut.

Rekognisi terhadap desa yang dilembagakan dalam UU Desa tentu bersifat kontekstual, konstitusional, dan merupakan hasil dari negosiasi politik yang panjang antara pemerintah, DPR, DPD dan juga desa. Sesuai amanat konstitusi negara (presiden, menteri, lembaga-lembaga negara, tentara, polisi, kejaksaan, perbankan, dan lembaga-lembaga lain), swasta atau pelaku ekonomi, maupun pihak ketiga (LSM, perguruan tinggi, lembaga internasional dan sebagainya) wajib melakukan pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan (eksistensi) desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. Eksistensi desa dalam hal ini mencakup hak asal-usul (bawaan maupun prakarsa lokal yang berkembang) wilayah, pemerintahan, peraturan maupun pranata lokal, lembaga-lembaga lokal, identitas budaya, kesatuan masyarakat, prakarsa desa, maupun kekayaan desa. Konsep mengakui dan menghormati berarti bukan campur tangan (intervensi), memaksa dan mematikan institusi (tatanan, organisasi, pranata, kearifan) yang ada, melainkan bertindak memanfaatkan, mendukung dan memperkuat institusi yang sudah ada. Ada beberapa contoh tindakan yang bertentangan dengan asas pengakuan dan penghormatan (rekognisi) seperti: pemerintah mengganti nagari atau sebutan lain dengan sebutan desa; pemerintah maupun swasta menjalankan proyek pembangunan di desa tanpa berbicara atau tanpa memperoleh persetujuan desa; pihak luar membentuk kelompok-kelompok masyarakat desa tanpa persetujuan desa; penggantian lembaga pengelola air desa menjadi P3A kecuali subak di Bali; penggantian sistem dan kelembagaan keamanan lokal menjadi polisi masyarakat, dan lain-lain.

Rekognisi bukan saja mengakui dan menghormati terhadap keragaman desa, kedudukan, kewenangan dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan, namun UU Desa juga melakukan redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi dana dari APBN maupun APBD. Di satu sisi rekognisi dimaksudkan untuk mengakui dan menghormati identitas, adat-istiadat, serta pranata dan kearifan lokal sebagai bentuk tindakan untuk keadilan kultural. Di sisi lain redistribusi uang negara kepada desa merupakan resolusi untuk menjawab ketidakadilan sosial-ekonomi karena intervensi, eksploitasi dan marginalisasi yang dilakukan oleh negara. Bahkan UU Desa juga melakukan proteksi terhadap desa, bukan hanya proteksi kultural, tetapi juga proteksi desa dari imposisi dan mutilasi yang dilakukan oleh supradesa, politisi dan investor.

Penerapan asas rekognisi tersebut juga disertai dengan asas subsidiaritas. Asas subsidiaritas berlawanan dengan asas residualitas yang selama ini diterapkan dalam UU No. 32/2004. Asas residualitas yang mengikuti asas desentralisasi menegaskan bahwa seluruh kewenangan dibagi habis antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan terakhir di tangan pemerintah kabupaten/kota. Dengan asas desentralisasi dan residualitas itu, desa ditempatkan dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota, yang menerima pelimpahan sebagian (sisa-sisa) kewenangan dari bupati/walikota.

Prinsip subsidiaritas menegaskan bahwa dalam semua bentuk koeksistensi manusia, tidak ada organisasi yang harus melakukan dominasi dan menggantikan organisasi yang kecil dan lemah dalam menjalankan fungsinya. Sebaliknya, tanggungjawab moral lembaga sosial yang lebih kuat dan lebih besar adalah memberikan bantuan (dari bahasa Latin, subsidium afferre) kepada organisasi yang lebih kecil dalam pemenuhan aspirasi secara mandiri yang ditentukan pada level yang lebih kecil-bawah, ketimbang dipaksa dari atas (Alessandro Colombo, 2012). Dengan kalimat lain, subsidiarity secara prinsipil menegaskan tentang alokasi atau penggunaan kewenangan dalam tatanan politik, yang notabene tidak mengenal kedaulatan tunggal di tangan pemerintah sentral. Subsidiaritas terjadi dalam konteks transformasi institusi, sering sebagai bagian dari tawar-menawar (bargaining) antara komunitas/otoritas yang berdaulat (mandiri) dengan otoritas lebih tinggi pusat. Prinsip subsidiarity juga hendak mengurangi risiko-risiko bagi subunit pemerintahan atau komunitas bawah dari pengaturan yang berlebihan (overruled) oleh otoritas sentral. Berangkat dari ketakutan akan tirani, subsidiarity menegaskan pembatasan kekuasaan otoritas sentral (pemerintah lebih tinggi) dan sekaligus memberi ruang pada organisasi di bawah untuk mengambil keputusan dan menggunakan kewenangan secara mandiri (Christopher Wolfe, 1995; David Bosnich, 1996; Andreas Føllesdal, 1999).

Dengan bahasa yang berbeda, saya memberikan tiga makna subsidiaritas. Pertama, urusan lokal atau kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal lebih baik ditangani oleh organisasi lokal, dalam hal ini desa, yang paling dekat dengan masyarakat. Dengan kalimat lain, subsidiaritas adalah lokalisasi penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan tentang kepentingan masyarakat setempat kepada desa.

Kedua, negara bukan menyerahkan kewenangan seperti asas desentralisasi, melainkan menetapkan kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa melalui undang-undang. Dalam penjelasan UU No. 6/2014 subsidiaritas mengandung makna penetapan kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa. Penetapan itu berbeda dengan penyerahan, pelimpahan atau pembagian yang lazim dikenal dalam asas desentralisasi maupun dekonsentrasi. Sepadan dengan asas rekognisi yang menghormati dan mengakui kewenangan asal usul desa, penetapan ala subsidiaritas berarti UU secara langsung menetapkan sekaligus memberi batas-batas yang jelas tentang kewenangan desa tanpa melalui mekanisme penyerahan dari kabupaten/kota.

Ketiga, pemerintah tidak melakukan campur tangan (intervensi) dari atas terhadap kewenangan lokal desa, melainkan melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap desa. Pemerintah mendorong, memberikan kepercayaan dan mendukung prakarsa dan tindakan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Tindakan ini sejalan dengan salah satu tujuan penting UU No. 6/2014, yakni memperkuat desa sebagai subjek pembangunan, yang mampu dan mandiri mengembangkan prakarsa dan aset desa untuk kesejahteraan bersama.

Kombinasi antara asas rekognisi dan subsidiaritas itu menghasilkan definisi desa dalam UU Desa yang berbeda dengan definisi-definisi sebelumnya:

"Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Desa, atau yang disebut dengan nama lain, mempunyai karakteristik yang berlaku umum di seluruh Indonesia. Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap organisasi dan sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya. Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi pengaturan hidup bersama atau kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.

Pada dasarnya daerah dan desa maupun warga masyarakat merupakan bagian dari negara, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara memiliki kedaulatan hukum atas daerah, desa dan warga masyarakat. Tidak ada warga negara yang bebas dari hukum negara. Dengan demikian, ketika warga sebuah komunitas sepakat mengorganisasikan dirinya ke dalam kesatuan masyarakat hukum yang disebut dengan istilah desa, kemudian desa itu menghadirkan kekuasaan lokal (dalam wujud sebagai pemerintah desa), maka desa pun harus tunduk kepada kedaulatan hukum negara. Pengikat hubungan antara desa dengan kabupaten/kota adalah aturan-aturan hukum negara yang harus ditaati dan dijalankan oleh warga desa.

Ketundukan desa dihadapan hukum sungguh berbeda dengan ketundukan desa secara langsung dihadapan hirarkhi kekuasaan. Wujud ketundukan Desa dihadapan hukum adalah bahwa Peraturan Desa, termasuk Perdes Desa Adat, harus tunduk pada norma hukum positif yang ada diatasnya. Pemerintah Daerah akan mengatur desa berdasarkan hukum (Perda). Meskipun demikian, sesuai dengan prinsip demokrasi, desa berhak terlibat aktif mempengaruhi perumusan Perda.

Jika desa dibandingkan dengan daerah tampak berbeda bahwa desa mengandung unsur ”prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/ atau hak tradisional” yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertama, frasa ”prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional” mempunyai makna bahwa keberadaan dan kewenangan desa sudah ada sebelum adanya negara, sebagai warisan masa lalu dan berkembang dinamis karena prakarsa masyarakat setempat. Dengan demikian masyarakat membentuk keberadaan desa dan kewenangan desa. Kedua, jika daerah dibentuk oleh negara dan memperoleh penyerahan (desentralisasi) kewenangan dari pemerintah pusat, maka keberadaan desa dan kewenangan desa berangkat dari prakarsa masyarakat dan asal-usul diakui dan dihormati oleh negara.

Desa maupun daerah sama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum. Kesatuan masyarakat hukum adalah organisasi kekuasaan atau organisasi pemerintahan. Namun Daerah otonom sebagai ”kesatuan masyarakat hukum” berbentuk pemerintahan daerah yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD. Dengan demikian pemerintah daerah merupakan subjek hukum yang merepresentasikan daerah, dan kepala daerah (bupati/walikota) merupakan personifikasi pemerintah daerah. Sedangkan desa ”kesatuan masyarakat hukum” adalah organisasi kekuasaan atau organisasi pemerintahan, yang secara jelas mempunyai batas-batas wilayah serta mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Karena definisi ini, desa bukanlah kelompok atau organisasi komunitas lokal (local community) semata, atau desa bukanlah masyarakat. Namun posisi sebagai organisasi pemerintahan yang melekat pada desa berbeda dengan posisi pemerintahan desa terendah di bawah camat sebagaimana dikonstruksi oleh UU No. 5/1979. Pemerintahan desa juga berbeda dengan pemerintahan daerah, dimana pemerintahan daerah tidak mengandung unsur masyarakat, melainkan perangkat birokrasi.

Dengan definisi dan makna itu maka UU No. 6/2014 tentang Desa telah menempatkan desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government), sehingga desa berbentuk pemerintahan masyarakat atau pemerintahan berbasis masyarakat. Desa tidak identik dengan pemerintah desa dan kepala desa. Desa mengandung pemerintahan dan sekaligus mengandung masyarakat sehingga membentuk kesatuan (entitas) hukum.

Desa merupakan organisasi pemerintahan yang paling kecil, paling bawah, paling depan dan paling dekat dengan masyarakat. Paling “kecil” berarti bahwa wilayah maupun tugas-tugas pemerintahan yang diemban desa mampunyai cakupan atau ukuran terkecil dibanding dengan organisasi pemerintahan kabupaten/kota, provinsi maupun pusat. Paling “bawah” berarti desa menempati susunan atau lapisan pemerintahan yang terbawah dalam tata pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun “bawah” bukan berarti desa merupakan bawahan kabupaten/kota, atau kepala desa bukan bawahan bupati/walikota. Desa tidak berkedudukan sebagai pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 200 UU No. 32/2004. Menurut UU No. 6/2014, desa berkedudukan dalam wilayah kabupaten/kota. Hal ini sama sebangun dengan keberadaan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi.

“Bawah” juga berarti bahwa desa merupakan organisasi pemerintahan yang berhubungan secara langsung dan menyatu dengan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sehari-hari. Istilah “bawah” itu juga mempunyai kesamaan dengan istilah “depan” dan “dekat”. Istilah “depan” berarti bahwa desa berhubungan langsung dengan warga masyarakat baik dalam bidang pemerintahan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan maupun kemasyarakatan. Sebagian besar warga masyarakat Indonesia selalu datang kepada pemerintah desa setiap akan memperoleh pelayanan maupun menyelesaikan berbagai masalah sosial. Karena itu pemerintah dan perangkat desa, yang berbeda dengan pemerintah dan perangkat daerah, harus siap bekerja melayani masyarakat selama 24 jam tanpa henti, tidak mengenal cuti dan liburan. Sedangkan istilah “dekat” berarti bahwa secara administratif dan geografis, pemerintah desa dan warga masyarakat mudah untuk saling menjangkau dan berhubungan. Secara sosial, “dekat” berarti bahwa desa menyatu dengan denyut kehidupan sosial budaya sehari-hari masyarakat setempat.*

Komentar