Artikel Unggulan

Istilah tentang Negara, Desa dan Rakyat oleh Sutoro Eko

Desa Bersawit, Sawit Berdesa

Kami mengusulkan pembenahan pada existing plantation dengan “Pelembagaan dan Konsolidasi Tata Kelola Sawit Lestari dalam Kerangka Kebijakan Pembangunan Desa” dengan ikon “desa bersawit dan sawit berdesa”. 

Kerangka baru ini merupakan sebuah pertautan (engagement) antara sawit, petani dan desa melalui kolaborasi, konsolidasi, integrasi dan institusionalisasi ke dalam sistem desa (kewenangan, kepemimpinan, pemerintahan, kebijakan, perencanaan dan penganggaran). 

Sebagai dasar, pertautan ini mempertemukan representasi kepentingan tiga pihak, perusahaan sawit, petani, dan desa yang bersifat mutualistik. 

Pertama, perusahaan sawit berkepentingan agar petani menghasilkan sawit yang produktif, berkualitas, serta mengikuti standar keberlanjutan (RSPO/ISPO). 

Kedua, petani berkepentingan terhadap perusahaan sawit agar memperoleh pengetahuan dan keterampilan teknis tentang pengelolaan sawit yang berkualitas dan berkelanjutan, sekaligus berkepentingan terhadap harga jual yang meningkat. Saat ini mereka belum siap jika RSPO dan ISPO dilaksanakan karena sebentar lagi fase replanting dan pada saat yang sama perusahaan juga masih banyak yang melakukan pelanggaran sawit lestari. Yang jauh lebih besar, petani juga membutuhkan penyelesaian sengketa agraria baik kaitan mereka dengan perusahaan swasta maupun negara. 

Ketiga, petani selama ini a-desa, tidak berkepentingan dengan desa, tetapi dapat diproyeksikan bahwa petani berkepentingan terhadap desa dalam hal pelayanan administrasi dan produksi, dukungan pendanaan untuk kegiatan produksi sawit dan organisasi petani, pemberdayaan, serta keterlibatan desa dalam menjaga lingkungan termasuk mencegah kebakaran. 

Keempat, secara etik dan politik, pemerintah desa (kepala desa) mempunyai sumberdaya, otoritas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, termasuk melayani kepentingan petani sawit dan menjaga wilayahnya bebas dari kebakaran. Desa ingin lingkungan tidak rusak, ada pembagian sumber daya dari perusahaan baik dalam skema CSR (sehingga memperbesar sumberdaya keuangan desa) dan penguatan kapasitas petani dalam ilmu dan keterampilan bersawit lestari. Desa berharap perusahaan harus lebih adil karena tidak sedikit buruh pabrik (khususnya yang dibuatkan selter di tengah perkebunan) menerima fasilitas yang tidak memadai terutama terkait dengan hak dasar pendidikan, kesehatan dan air bersih. Artinya desa membutuhkan perilaku sektor privat yang lebih memanusiakan buruh kebun, karena problem kependudukan akan kembali pada desa dimana para buruh bermukim.

Dari sisi substansi, pertautan tiga pihak tersebut mengandung beberapa aspek. 

Pertama, aspek teknis persawitan, yang mencakup mulai dari teknis produksi, standar keberlanjutan, hingga teknis pencegahan dan pananganan kebakaran lahan. Baik perangkat desa maupun petani sawit perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan atas aspek teknis ini. 

Kedua, aspek kelembagaan, yakni pelembagaan kepentingan mutualistik dan aspek teknis itu ke dalam organisasi petani maupun ke dalam sistem desa. Hal ihwal persawitan dibicarakan, disepakati, diputuskan, dibiayai, dijalankan dan dievaluasi dengan kebijakan desa yang dipimpin oleh kepala desa.

Ketiga, aspek pendanaan, yakni pendanaan terhadap berbagai kegiatan untuk mewujudkan kepentingan bersama parapihak dan penerapan teknis persawitan. Dalam hal ini dibutuhkan sharing pendanaan dari pemerintah, perusahaan, desa dan petani. Sebagai contoh, perusahaan memberikan pendanaan untuk penyiapan panduan teknis produksi dan standarisasi dan pelatihan kepada para petani. Pemerintah daerah dapat mendanai penyusunan panduan dan pelatihan tentang pencegahan kebakaran lahan. Desa dapat menggunakan dana desa untuk memfasilitasi kepentingan petani, mulai dari sarana produksi sampai pengorganisasian dan pembelajaran petani. Juga kerjasama (kolaborasi) antardesa dapat membiayai pengadaan infrastruktur yang mampu mencegah atau mengatasi kebakaran lahan.

Baik kepentingan maupun tiga aspek itu membutuhkan serangkaian proses yang mengarah pada kolaborasi, integrasi, konsolidasi dan institusionalisasi. 

Pertama, proses deliberasi. Desa dapat memfasilitasi dan mengorganisir proses deliberasi di antara petani swadaya dalam satu desa, untuk merumuskan kepentingan dan tujuan mereka, sebelum masuk ke arena musyawarah desa. Musyawarah desa menjadi arena deliberasi antara petani swadaya dengan desa. Baik unsur pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa, tokoh masyarakat, institusi lokal dan para petani sawit duduk bersama membicarakan kepentingan mereka yang perlu diakomodasi ke dalam kebijakan desa, sekaligus mencari titik temu mutualistik antara desa dengan petani sawit. Atas dasar musyawarah desa, misalnya, kesepakatan kolektif dapat diambil untuk membentuk BUM Desa/BUM-Kam yang dapat memfasilitasi, memproteksi, dan mengkonsolidasi bisnis sawit di antara para petani swadaya. Deliberasi lanjutan juga bisa dilakukan dalam skema kerjasama antardesa melalui Musyawarah Antar Desa, baik untuk kolaborasi bisnis, pembelajaran horizontal, maupun mengatasi konflik maupun kebakaran. Proses deliberasi yang berjenjang itu akan membuahkan sebuah kolaborasi dan konsolidasi antara desa dengan petani dan antara desa dengan desa lain. Ini akan membangun kekuatan dan aksi kolektif untuk memperjuangkan kepentingan dan tujuan bersama. Deliberasi lebih lanjut dapat dilakukan oleh kolaborasi (asosiasi) kolektif itu dengan pemerintah maupun dengan perusahaan, untuk melakukan deliberasi kepentingan kolektif, atau memperjuangkan (negosiasi) kepentingan lokal dengan pemerintah maupun swasta.

Kedua, proses institusionalisasi. Kesepakatan kolektif dalam musyawarah desa maupun musyawarah antardesa membutuhkan pelembagaan ke dalam perencanaan (RPJM Desa dan RKP Desa), penganggaran (APBDesa), peraturan desa, maupun peraturan bersama kepala desa. Jika BUM Desa/BUM-Kam menjadi pilihan, maka hal ini perlu dilembagakan ke dalam sistem desa itu, dan selanjutnya diikuti denga institusioalisasi usaha berbasis desa ini. Desa maupun kerjasama antardesa selanjutnya melakukan eksekusi dan implementasi atas rencana dan anggaran desa.

Ketiga, proses kolaborasi secara inklusif. Proses implementasi kesepakatan atas kepentingan kolektif membutuhkan proses kolaborasi secara inklusif di antara desa, petani, pemerintah dan perusahaan. Sharing sumberdaya dan sumberdana di antara mereka merupakan wujud konkret kolaborasi untuk mewujudkan kepentingan kolektif. Kolaborasi sumber daya disini juga dapat dimaknai dalam kerangka penyelenggaraan perencanaan program/kegiatan oleh pemerintah supradesa yang berskala desa atau kawasan perdesaan dikoordinasikan dan dikonsolidasikan dalam kerangka pendekatan desa membangun. RPJMDesa, perlu direkognisi oleh pemerintah supradesa sebagai rujukan pembuatan program/kegiatan prioritas berskala desa dan kawasan perdesaan, sehingga RPJMN ataupun Dokumen Rencana Kerja Kementerian/Lembaga juga memiliki cerminan kuat atas perencanaan pembangunan nasional berbasis desa/kawasan perdesaan.

Keempat, proses katalisasi dan fasilitasi. Siapa yang menjalankan proses itu semua? Apakah desa dan petani dengan sendirinya akan bergerak? Dalam situasi kekosongan ruang-ruang politik (political space), dibutuhkan katalis (fasilitator) dari luar yang menjalankan proses katalisasi dan fasilitasi. Baik pendamping maupun NGOs dapat ambil bagian sebagai katalis perubahan, yang memfasilitasi proses deliberasi, institusionalisasi dan kolaborasi. Mereka hadir sebagai jembatan sosial yang mengisi ruang-ruang kosong dan menjembatani pertautan para aktor itu. Mereka dapat hadir menjadi katalis atas tumbuhnya local champion, wirausaha sosial, maupun pemimpin lokal progresif dari kalangan kepala desa. Mereka juga dapat memfasilitasi pemberdayaan dan pembelajaran di antara para petani, sekaligus membangun jejaring petani pada skala yang lebih luas. Jika perusahaan mempunyai komitmen pada sawit berkelanjutan dan berkeadilan, maka mereka dapat membiayai kerja-kerja katalisasi dan fasilitasi ini.*

Petikan dari Position Paper: Pelembagaan dan Konsolidasi Tata Kelola Sawit Lestari dalam Kerangka Kebijakan Pembangunan Desa. Penulis: Borni Kurniawan, Farid Hadi Rahman, Sahrul Aksa. Editor: Sutoro Eko Yunanto. Diterbitkan oleh FPPD Yogyakarta (2016). Tulisan ini diterbitkan atas kerjasama FPPD Yogyakarta dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).

Naskah dapat diunduh pada link ini: Desa Bersawit, Sawit Berdesa

Komentar