Artikel Unggulan

Istilah tentang Negara, Desa dan Rakyat oleh Sutoro Eko

Korupsi dan Pengkhianatan Kaum Intelektual di Indonesia ~ Bayu Budiandrian (Sosiolog Pedesaan)

Dunia pendidikan belum lama ini digemparkan oleh berita ditangkapnya seorang rektor dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri karena terjerat kasus suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. Tidak tanggung-tanggung, tersangka diduga menerima suap lebih dari Rp 5 milyar rupiah dengan cara memasang tarif Rp 100 juta sampai dengan Rp 350 juta rupiah agar dapat meluluskan calon mahasiswa baru yang mendaftar melalui jalur mandiri tersebut. Kasus ini tentu saja menambah panjang daftar hitam buruknya potret pengelolaan pendidikan di Indonesia. Untuk itu, tulisan ini mencoba membedah dua narasi besar yaitu korupsi dan potret pengelolaan pendidikan yang ada di Indonesia melalui kacamata atau lensa ilmu sosiologi melalui upaya penelurusan historis serta tinjauan sosiologis.

Pendidikan di Indonesia pada mulanya digunakan untuk tujuan “pembebasan”. Para Founding Parents Indonesia sejak awal telah meyadari bahwa jalan untuk melawan penjajahan haruslah dimulai dari Pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat dari sejarah pergerakan Nasional Indonesia yang ditandai dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo. Organisasi Boedi Oetomo sendiri merupakan organisasi pendidikan yang didirikan oleh para tokoh seperti Soetomo, Wahidin Soedirohoesodo, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lain yang kemudian menjadi cikal-bakal berbagai pengembangan aspek dalam bidang pendidikan Nasional yang ada di Indonesia sampai dengan saat ini. Pada masa pra-kemerdekaan, pendidikan menjadi sesuatu yang urgent karena adanya ketimpangan hak antara pribumi dengan bangsa Belanda. Pendidikan menjadi arena pertarungan menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat untuk dapat lepas dari derita penjajahan kolonialisme bangsa Belanda. Oleh karena itu, hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah seluruh daya upaya yang dikerahkan secara terpadu untuk tujuan memerdekaan aspek lahir dan batin manusia.

Bayu Budiandrian, SP.,M.Si
Sosiolog Pedesaan Universitas Singaperbangsa
Karawang Jawa Barat

Dunia pendidikan belum lama ini digemparkan oleh berita ditangkapnya seorang rektor dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri karena terjerat kasus suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. Tidak tanggung-tanggung, tersangka diduga menerima suap lebih dari Rp 5 milyar rupiah dengan cara memasang tarif Rp 100 juta sampai dengan Rp 350 juta rupiah agar dapat meluluskan calon mahasiswa baru yang mendaftar melalui jalur mandiri tersebut. Kasus ini tentu saja menambah panjang daftar hitam buruknya potret pengelolaan pendidikan di Indonesia. Untuk itu, tulisan ini mencoba membedah dua narasi besar yaitu korupsi dan potret pengelolaan pendidikan yang ada di Indonesia melalui kacamata atau lensa ilmu sosiologi melalui upaya penelurusan historis serta tinjauan sosiologis.

Pendidikan di Indonesia pada mulanya digunakan untuk tujuan “pembebasan”. Para Founding Parents Indonesia sejak awal telah meyadari bahwa jalan untuk melawan penjajahan haruslah dimulai dari Pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat dari sejarah pergerakan Nasional Indonesia yang ditandai dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo. Organisasi Boedi Oetomo sendiri merupakan organisasi pendidikan yang didirikan oleh para tokoh seperti Soetomo, Wahidin Soedirohoesodo, Ki Hadjar Dewantara, dan lain-lain yang kemudian menjadi cikal-bakal berbagai pengembangan aspek dalam bidang pendidikan Nasional yang ada di Indonesia sampai dengan saat ini. Pada masa pra-kemerdekaan, pendidikan menjadi sesuatu yang urgent karena adanya ketimpangan hak antara pribumi dengan bangsa Belanda. Pendidikan menjadi arena pertarungan menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat untuk dapat lepas dari derita penjajahan kolonialisme bangsa Belanda. Oleh karena itu, hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah seluruh daya upaya yang dikerahkan secara terpadu untuk tujuan memerdekaan aspek lahir dan batin manusia.

Meski demikian, paradigma pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pendidikan di Indonesia saat ini dapat dikatakan memiliki 3 (tiga) masalah kunci; Pertama, liberalisasi pendidikan, masalah ini seringkali menimbulkan permasalahan-permasalahan lain seperti tingginya biaya pendidikan, serta terjadinya ketimpangan sarana-prasarana, infratruktur dan akses pendidikan. Kedua, korupsi di instansi pendidikan, masalah ini umumnya timbul akibat dari suatu kebijakan pengaturan pengelolaan pendidikan. Ketiga, krisis integritas yang dialami oleh para intelektual. Ketiga permasalahan tersebut umumnya saling kait-mengait antara satu dengan yang lain sehingga menyebabkan pendidikan mengalami stagnasi atau bahkan menyebabkan devolusi dalam dunia pendidikan.

Kajian kritis mengenai liberalisasi pendidikan dapat dilihat dari buku Fleming (2021) berjudul Dark Academia: How Universities Die yang menyoroti bagaimana proses terjadinya korporatisasi pendidikan khususnya di perguruan tinggi. Bukan tanpa alasan, menurut Fleming (2021) neoliberalisasi pendidikan dengan gejala korporatisasi yang melanda dunia pendidikan tinggi dapat dikenali dengan tiga ciri pokok yaitu; Pertama, dualisme pendidikan dan politik yang semakin tidak bersekat. Kedua, kompetisi diantara sesama akademisi, misalnya dengan memaksimalkan publikasi jurnal bereputasi agar menjadi ukuran kesuksesan karir seseorang di universitas. Ketiga, komersialisasi dan birokratisasi di kampus yang semakin menjadi-jadi sehingga menyebabkan tingginya biaya pendidikan.

Dark Academia

Lebih jauh, Dharmawan (2021) menjelaskan bahwa trajectories sejarah perkembangan pendidikan tinggi modern menurut Fleming (2021) dapat dipisahkan menjadi 4 kategori fase yaitu; fase Late Modern Period (abad ke-18 sampai abad ke-19), Academic Revolution (abad ke-20), Counter Revolution Era (akhir abad ke-20), dan Fully Commercialized (abad ke-21). Dengan demikian, maka bidang pendidikan sedang memasuki tahap Marketization Process dan Big Management Orientation. Hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi bangsa Indonesia untuk tidak terjebak pada pola pendidikan yang dialami dunia Barat dan Dunia pada umumnya. Bapak Pendidikan Nasional Indonesia sejak awal meletakan falsafah pendidikan Indonesia secara opposite atau bersebrangan dengan praktik pendidikan dunia barat karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat dan tidak sesuai dengan karakter serta jati diri bangsa. Pendidikan barat cenderung bersifat perintah, hukuman, ketertiban, sementara marwah pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah dengan menyelenggarakan kegiatan pendidikan yang berkarakter melalui penekanan tentang pentingnya Budi Pekerti.

Korupsi dan pengkhianatan kaum intelektual merupakan bukti nyata dari memudarnya integritas para cendekiawan yang dihasilkan oleh institusi pendidikan masa kini. Korupsi dalam dunia pendidikan adalah salah satu bentuk pengkhianatan kaum cendekiawan. Korupsi di dalam dunia pendidikan tidak dapat dipisahkan dari adanya perubahan orientasi pendidikan yang semula digunakan untuk mendidik manusia agar memiliki karakter yang berakhlak tinggi dan mulia, kini berubah digunakan sebagai alat investasi yang didasarkan pada logika pasar dan industri. Secara harfiah korupsi mengandung arti kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dan dapat disuap. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Berdasarkan Buku Saku KPK (2009), korupsi merupakan tindakan pidana dimana dalam UU No. 31 tahun 2009 juncto UU No. 20 tahun 2001 dijelaskan bahwa terdapat 30 jenis tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan korupsi, salah satunya adalah suap-menyuap.

Pengkhianatan kaum intelektual pertama kali terbit sebagai buku yang ditulis oleh Julien Benda pada tahun 1927 dengan judul asli berbahasa perancis “La Trahison des clercs”. Poin utama dari buku tersebut adalah untuk memisahkan dengan tegas antara ilmu pengetahuan dengan politik kekuasaan yang dinilai memiliki wilayah otonomnya masing-masing. Untuk itu, kaum intelektual yang bergelut pada ranah ilmu pengetahuan tidak seharusnya terpapar oleh politik kekuasaan. Bagi Benda (1927:1997:2007) tugas utama dari kaum cendekiawan adalah untuk mendedikasikan dirinya dalam upaya pencarian kebenaran pada ranah ilmu pengetahuan. Apa yang diidamkan oleh Benda, pada kenyataannya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Saat ini ranah politik praksis memiliki kontrol yang sangat kuat bagi pendidikan di Indonesia. Salah satunya dapat dilihat dari maraknya pemberian gelar kehormatan Honoris Causa oleh Universitas kepada para tokoh politik yang belum tentu layak dianugerahi gelar akademik tersebut.

Untuk itu, penulis ingin menutup percakapan ini dengan mengutip Guru Bangsa Kita, Cendekiawan Murni, Bapak Sosiologi Pedesaan, Prof. Sajogyo (2006) yang mengatakan bahwa cara untuk mencari atau melahirkan “ilmu sejati” atau “ilmu yang sesuai dengan realita” adalah dengan proses “dari praktik ke teori dan ke praktik yang berteori” agar terjadi hubungan dialektis yang tidak berhenti antara teori dan praktik, atau praktik dan teori. Mengapa pencarian kebenaran atau ilmu yang sesuai dengan realita itu menjadi penting. Jawabannya bukan hanya sekedar untuk pemuasan keingintahuan kita saja, tetapi lebih jauh dari itu, sebagai adagium bahwa ilmu pengetahuan yang sesuai dengan realita adalah ilmu yang berguna. Apakah ada kecenderungan kuat ilmu saat ini tidak berbicara tentang realita? Jawabannya, kebanyakan demikian. Ya, ilmu-ilmu dijadikan fundamentalis sehingga tidak bicara soal realita yang sesungguhnya, tetapi berteori tentang realita semu.*

Bekasi, 23 Agustus 2022


Komentar