Artikel Unggulan

Istilah tentang Negara, Desa dan Rakyat oleh Sutoro Eko

Makna Mistis Ikat Kepala Sunda

Sampai hari ini pemaknaan mustika, kepala, ka ramaan, puncak teratas itu sakral dan sangat dihargai sebagai perwujudan kearifan manusia di belahan bumi. Penutup kepala seperti imamah (Arab), Totopong/iket (Sunda), Blangkon (Jawa), Peci (Nusantara) dan di berbagai daerah belahan bumi lainnya punya arti filosofis, fungsi praktis, estetis, dan simbolis untuk menunjukan identitas sebuah bangsa atau suku bangsa.

Begitupun halnya keberadaan ikat kepala (iket) suku sunda sebagai entitas dan identitas budaya bangsa sejak zaman dahulu telah dikenal dari masa kemasa mulai iket buhun sampai iket moderen sampai saat ini.

Dahulu kala masyarakat sunda hanya memakai dua warna dan corak saja, hitam dan putih dengan kain empat sisi atau tiga sisi yang mengandung filosofi nafsu Amarah, Sawiyah, lawwamah, Muthmainnah. Terikat satu kesatuan dan tujuan yakni tunduk dan patuh pada pangeran hyang agung, Gusti Allah Rabbul'izati. Tiga sisi berikutnya yakni tegaknya rukun Agama: Iman, Islam, dan Ihsan.

Kemudian, jika di tinjau dari sisi fungsinya, "iket" dipakai oleh masyarakat tatar sunda sebagai pelindung mastaka (kepala) dari sengat panas matahari dan hujan, dan meminimalisir jika terjadi benturan di kepala. Masih banyak lagi fungsi kain tersebut untuk penahan beban barang yang di-suhun (ditempatkan di kepala) atau bahan pembungkus makanan dan lainnya, dengan corak dan variasi sesuai keadaan perubahan zamannya.

Iket kepala sunda secara simbolis bersisi tiga digambarkan pula dalam tiga hukum wilayah yakni Ka ramaan, ka resian dan ka ratuan yang kesemuanya dibatasi oleh Daerah Aliran Sungai (DAS). Pusat dari ketiga hukum wilayah ialah Gunung Pangauban (tetengger Nagara).

Gunung Pangauban mencakup pula tiga konsep kewilayahan yakni Wilayah Baladahan, Tutupan dan Larangan, Fungsi Gunung Baladan (pemanfaatannya untuk area permukiman, pertanian/perkebunan) sampai ukuran tertentu disebut leuweung tutupan artinya masyarakat sampai wilayah sana tidak boleh lagi Ngabaladah (mengolah tanah) karena fungsinya untuk cagar alam dan kawasan penyanggah hutan,

Hingga sampai di wilayah batas terakhir (ada hitungan buhun-nya) menuju ke wilayah puncak gunung terdapat simbol larangan. Yakni wilayah konservasi untuk menjaga habitat flora dan fauna sehingga manusia pun tak boleh masuk wilayah tersebut kecuali orang tertentu yang disepakati secara adat.

Begitulah sekelumit tata wilayah menurut Patanjala. Berpedoman pada perilaku Air, Sungai dan Gunung Pangauban dan mesti harus dijaga dan dilestarikan. Terlebih pada wilayah karamaan/Leuweung Larangan (hutan konservasi). Bagi patanjala hal itu terhitung dan idak boleh diganggu, dirusak atau dihancurkan. Ibarat kepala kita yang berada di atas karena di dalamnya ada ruang (nisbat: akal/fikiran) yang harus suci, bersih dan terikat (iket) oleh agama dan darigama (aturan negara).

Puncak peradaban sejarah (Pajajaran) pernah ditorehkan jauh sebelum Pajajaran berdiri. Seperti di wilayah Cibadak Sukabumi yang merupakan kawasan gunung walat atau di sebut Hutan Pendidikan Gunung Walat yang sarat dengan petilasan.

Dahulu kala Sanghyang Tapak adalah sebuah kabuyutan di Cibadak, nama itu disebut dalam prasasti yang ditemukan di wilayah Cibadak, pada tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 atau 11 Oktober 1030. Terdiri dari empat buah batu bertulis yang ditemukan di aliran Sungai Citatih. Desa Tenjojaya berbatasan dengan Desa Warnajati. Satu lagi ditemukan pada tahun 1890 di hutan pinggir sungai yang sama, tepatnya di dekat Leuwi Kalabang.

Prasasti tersebut dilaporkan dan diserahkan oleh Wedana Cibadak saat itu ke Museum Batavia (Jakarta). Kemudian pihak Museum memberi nomor koleksi D.73. Sementara Desa Warnajati pun kini memiliki patilasan taman siliwangi, Guha cukang lemah, dan berbagai benda purbakala. Jejak puncak kejayaan puseur dayeuh zaman dulu juga berada di desa Karangtengah dan Desa Batununggal yang masih terlintasi gunung walat. Disana terdapat berbagai petilasan antara lain batu jajar, goa putih, yang berada dalam kawasan hutan yang rindang dan asri.

Saat ini potensi kawasan desa tersebut belum terjamah menjadi sebuah destinasi wisata di karenakan perlunya kesadaran masyarakat dan sinergitas antara pemerintah desa, pemerintah supra Desa, dan pemangku kepentingan lainnya. Untuk bersama-sama membangun kembali cagar alam dan sejarahnya sehingga masyarakat di wilayah Kawasan Cibadak bisa tahu identitas jati dirinya, sejarah wilayahnya, peran dan fungsi entitas Masyarakat di wilayah gunung walat berikut sungai mengalirnya yang di ikat dalam balutan iket sunda zaman kiwari.

Jejak sejarah organisasi pemerintahan yang bermasyarakat dan organisasi masyarakat berpemerintahan ini menyumbangkan substansi Kewenangan Desa berdasarkan Hak Asal Usul. Legitimasi hukum penting didampingi agar diakui kedalam Peraturan Desa mengenai Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. Selain pembiayaan dari APB Desa tertuju pada praksis kewenangan Desa ini, rakyat Desa semakin menyadari sejarah kedaulatan Desa.*

Asep Saepulrohman, Pendamping Desa.

Komentar