Artikel Unggulan

Istilah tentang Negara, Desa dan Rakyat oleh Sutoro Eko

7 Desa Membangun Indonesia: Perspektif Desa Lama (Community/Money Driven Development)

   

Semua berangkat dari cara pandang (perspektif). Cara pandang membimbing kebijakan, regulasi, program dan tindakan. Hitam putih desa selama ini tentu juga tidak luput dari cara pandang para pihak. Ada banyak cara pandang terhadap desa, namun kami hendak membeberkan tiga cara pandang dominan.

Pertama, cara pandang yang melihat desa sebagai kampung halaman. Ini muncul dari banyak orang yang telah merantau jauh dari desa kampung halamannya, baik melalui jalur urbanisasi, transmigrasi atau mobilitas sosial. Para petinggi maupun orang-orang sukses di kota-kota besar begitu bangga menyebut dirinya “orang desa” dan bangga bernostalgia dengan cara bercerita tentang kampung halamannya yang tertinggal dan bersahaja. Fenomena mudik lebaran yang hingar bingar, tetapi juga membawa korban jiwa yang tidak sedikit, setiap tahun juga menjadi contoh terkemuka tentang nostalgia para perantau terhadap kampung halamannya dan sanak saudaranya. Cara pandang ini tidak salah. Tetapi di balik cara pandang personal itu tentu ada yang salah dalam pembangunan, mengapa urbanisasi terus mengalir, mengapa pembangunan bias kota, mengapa desa tidak mampu memberikan kehidupan dan penghidupan.

Kedua, cara pandang pemerintahan yang melihat desa sebagai wilayah administrasi dan organisasi pemerintahan paling kecil, paling bawah dan paling rendah dalam hirarkhi pemerintahan di Indonesia. Ketiga, cara pandang libertarian yang memandang desa sebagai masyarakat tanpa pemerintah dan pemerintahan. Cara pandang ini yang melahirkan program-program pemberdayaan masuk ke desa dengan membawa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat, seraya mengabaikan dan meminggirkan institusi desa.

Ketiga cara pandang itu tidak memiliki sebuah imajinasi tentang desa sebagai “negara kecil”. Desa bukan sekadar kampung halaman, pemukiman penduduk, perkumpulan komunitas, pemerintahan terendah dan wilayah administratif semata. Desa laksana “negara kecil” yang mempunyai wilayah, kekuasaan, pemerintahan, institusi lokal, penduduk, rakyat, warga, masyarakat, tanah dan sumberdaya ekonomi. Setiap orang terikat secara sosiometrik dengan masyarakat, institusi lokal dan pemerintah desa. Tidak ada satupun elemen desa yang luput dari ikatan dan kontrol desa. Survai Bank Dunia, Justice for the Poor (2007), misalnya, memperlihatkan bahwa warga lebih banyak memilih kepala desa (42%) dan tokoh masyarakat (35%) ketimbang pengadilan (4%), dalam menyelesaikan masalah dan mencari keadilan.

Desa selama ini menjadi arena kontestasi perspektif, sikap dan tindakan tiga cara pandang di atas. Kekuatan supradesa (negara dan modal) sungguh tidak mengakui dan menghormati “negara kecil” secara utuh. Keduanya menempatkan desa sebagai unit administratif, atau sebagai pemerintahan semu, yang menjadi kepanjangan tangan negara. UU No. 5/1979 merupakan regulasi yang tidak menempatkan desa secara utuh sebagai kesatuan masyarakat hukum, melainkan desa sebagai unit administrasi pemerintahan terendah di bawah camat. Desa antara lain bertugas mengeluarkan surat rekomendasi izin usaha yang dibutuhkan oleh investor.

Investor berkepentingan terhadap sumberdaya agraria yang dekat dengan desa. Ada investor yang membawa izin dari menteri maupun kepala daerah, langsung mengeksekusi proyeknya tanpa menghiraukan institusi desa. Ada juga investor yang memperoleh rekomendasi izin dari kepala desa secara tertutup tanpa menghormati warga. Ada pula investor bernegosiasi dengan sekelompok warga pemilik tanah tanpa menghiraukan institusi desa. Intervensi modal yang tidak merekognisi desa itulah yang sering menghadirkan konflik agraria dan marginalisasi terhadap entitas lokal. Setelah beroperasi, perusahaan menjalankan agenda tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility –-CSR), yang tidak melihat desa dan melakukan rekognisi terhadap desa secara utuh, melainkan memandang dan memperlakukan desa dengan tiga cara pandang: desa sebagai wilayah administratif dan unit pemerintahan, desa sebagai komunitas lokal dan desa sebagai lokasi proyek pembangunan.

Apa yang dilakukan perusahaan sebenarnya meniru cara pandang dan tindakan pemerintah (negara) terhadap desa. Negara menghadapi dilema dalam memperlakukan desa. Di satu sisi negara-bangsa modern Indonesia berupaya melakukan modernisasi-integrasi-korporatisasi terhadap entitas lokal ke dalam kontrol negara. Negara menerapkan hukum positif untuk mengatur setiap individu dan wilayah, sekaligus memaksa hukum adat lokal tunduk kepadanya. Di sisi lain konstitusi, UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2, juga mengharuskan negara melakukan rekognisi (pengakuan dan penghormatan) terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (desa, gampong, nagari, kampung, negeri dan lain-lain) beserta hak-hak tradisionalnya.

Sejak Orde Baru negara memilih cara modernisasi-integrasi-korporatisasi ketimbang rekognisi (pengakuan dan penghormatan). UU No. 5/1979, UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004 sama sekali tidak menguraikan dan menegaskan asas pengakuan dan penghormatan terhadap desa atau yang disebut nama lain, kecuali hanya mengakui daerah-daerah khusus dan istimewa. Banyak pihak mengatakan bahwa desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota, dan kemudian desa merupakan residu kabupaten/kota. Pasal 200 ayat (1) menegaskan: “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawatan desa”. Ini berarti bahwa desa hanya direduksi menjadi pemerintahan semata, dan desa berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota. Bupati/walikota mempunyai cek kosong untuk mengatur dan mengurus desa secara luas. Pengaturan mengenai penyerahan sebagian urusan kabupaten/kota ke desa, secara jelas menerapkan asas residualitas, selain tidak dibenarkan oleh teori desentralisasi dan hukum tata negara. 

Melalui regulasi itu pemerintah selama ini menciptakan desa sebagai pemerintahan semu (pseudo government). Posisi desa tidak jelas, apakah sebagai pemerintah atau sebagai komunitas. Kepala desa memang memperoleh mandat dari rakyat desa, dan desa memang memiliki pemerintahan, tetapi bukan pemerintahan yang paling bawah, paling depan dan paling dekat dengan masyarakat. Pemerintah desa adalah organisasi korporatis yang menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah, mulai dari tugas-tugas administratif hingga pendataan dan pembagian beras miskin kepada warga masyarakat. Dengan kalimat lain, desa memiliki banyak kewajiban ketimbang kewenangan, atau desa lebih banyak menjalankan tugas-tugas dari atas ketimbang menjalankan mandat dari rakyat desa. Karena itu pemerintah desa dan masyarakat desa bukanlah entitas yang menyatu secara kolektif seperti kesatuan masyarakat hukum, tetapi sebagai dua aktor yang saling berhadap-hadapan.

Ketika desa berposisi sebagai pemerintahan semu itu, banyak pihak sangsi apakah desa merupakan subjek hukum atau tidak, meskipun definisi desa secara jelas menegaskan sebagai kesatuan masyarakat hukum. Hanya sebagian elemen Kementerian Dalam Negeri yang memandang desa secara utuh dan mengakui desa sebagai subjek hukum. Kementerian/Lembaga lain sama sekali tidak mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum, subjek hukum maupun organisasi pemerintahan. Bappenas, Kementerian PU, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak menggunakan desa, melainkan menggunakan perdesaan, dan secara spesifik pembangunan perdesaan. Rencana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan RPJMN 2009-2014 serta UU No. 17/2007 tentang RPJP 2005-2025 –-yang merupakan karya besar Bappenas-– mempunyai satu chapter tentang Pembangunan Perdesaan, yang lebih banyak bicara tentang perdesaan daripada desa. RPJMN dan RPJP ini sama sekali tidak melihat desa ataupun masyarakat adat sebagai sebuah entitas, basis dan hulu penghidupan dan kehidupan masyarakat. Beberapa kementerian lain juga memakai desa, misalnya Kementerian Kesehatan mempunyai “desa siaga”, Kementerian Kehutanan punya “hutan desa”, Kementerian Kelautan dan Perikanan bermain di “desa pesisir” atau “desa nelayan”, Kementerian ESDM mempunyai “desa mandiri energi”, Kementerian Pertanian memiliki “desa mandiri pangan”, Kementerian Pariwisata mampunyai mainan “desa wisata”, dan Kementerian PDT mempunyai “desa tertinggal”. Tetapi konsep desa yang dimiliki oleh beberapa Kementerian ini berbeda dengan konsep desa yang dimiliki KDN. Mereka menyebut desa dalam pengertian lembaga-lembaga dan masyarakat sebagai penerima manfaat program-program mereka, bukan sebagai kesatuan masyarakat hukum atau organisasi pemerintahan.

Cara pandang desa sebagai masyarakat itulah yang melahirkan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dari berbagai kementerian, yang diberikan bukan kepada desa melainkan kepada masyarakat. Skema BLM itu bisa kita lihat dalam alur uang dari pusat ke daerah dan desa. Pertama, dana yang mengalir melalui mekanisme transfer daerah dan kedua dana yang mengalir melalui skema belanja pusat di daerah. Arus keuangan yang turun ke desa dalam bentuk transfer daerah mengalir dalam bentuk DAK (Dana Alokasi Khusus), DAU (Dana Alokasi Umum), DBH (Dana Bagi Hasil) dan dana penyesuaian. Aliran dana-dana tersebut kemudian tersatukan ke dalam satu pintu APBD. Namun yang mengalir ke desa hanya berbentuk ADD. Sementara, untuk aliran fiskal yang mengalir ke masyarakat (BLM) justru lebih banyak. BLM tersebut bersumber pada tiga pintu yaitu melalui pintu; (1) Kementerian/Lembaga yang mengalir ke SKPD dalam bentuk dana dekonsentrasi, Dana Tugas Pembantuan (TP) dan dana vertikal yang mengalir ke lembaga-lembaga vertikal pemerintahan. (2) Kementerian/Lembaga untuk program Nasional seperti PNPM, BOS dan Jamkesmas. (3) subsidi untuk komoditi seperti pupuk, listrik, BBM dan pangan.

Berbagai BLM yang masuk ke desa membuat desa menjadi pasar (outlet) proyek. Setiap proyek yang datang dari Jakarta mempunyai rezim sendiri yang tidak menyatu pada sistem pemerintahan, perencanaan dan keuangan desa. Proses ini seringkali membuat hasil perencanaan warga yang tertuang dalam RPJM Desa menjadi terabaikan. Namun karena masyarakat desa terus membutuhkan pembangunan maka tidak pernah ada anggapan bahwa proyek yang datang ke desa tidak sesuai. Uang adalah berkah atau rezeki. Mereka cerdik dalam membuat siasat lokal, termasuk siasat mengintegrasikan PNPM Mandiri ke dalam perencanaan desa. Pada awalnya PNPM melakukan perencanaan proyek secara terpisah dengan mekanisme reguler yang telah berlangsung di desa, sehingga di desa ada dua perencanaan pembangunan. Tetapi seiring banyaknya kritik yang masuk, PNPM mulai merujuk dokumen perencanaan desa dan juga ikut berproses dalam Musrenbang Desa. Tim manajemen PNPM Mandiri juga melakukan koordinasi dengan pemerintah desa baik dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya. Meskipun dana PNPM Mandiri tidak masuk ke APB Desa, tetapi setiap desa membuat perencanaan sampai laporan yang menyantumkan dana PNPM sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan.

Kehadiran BLM di desa tidak mencerminkan sebuah community driven development (CDD) secara sempurna melainkan lebih tampak sebagai money driven development (MDD). Uang merupakan bentuk komitmen konkret pemerintah menolong masyarakat desa, sekaligus sebagai sarana intervensi dan mobilisasi terhadap masyarakat untuk aksi kolektif yang menyokong kesejahteraan. CDD sebenarnya identik dengan emansipasi lokal (inisiatif dan gerakan lokal) mengembangkan potensi ekonomi lokal yang bisa menjadi sumber penghidupan bagi warga desa secara berkelanjutan. Tetapi yang terjadi, CDD yang dikombinasikan dengan skema BLM melalui tugas pembantuan, dijalankan pemerintah dengan cara menyediakan dana di level kecamatan yang kemudian mengundang desa untuk menyampaikan usulan guna mengambil dana tersebut. Pada level yang mikro di desa, dana BLM merupakan perangsang dan instrumen mobilisasi partisipasi masyarakat, sekaligus merangsang masyarakat untuk membentuk kelompok guna menerima dana. Sebaliknya, masyarakat masih tetap enggan berpartisipasi dalam musrenbang reguler, sebab agenda rutin ini tidak jelas menghasilkan uang perangsang.

Meskipun di atas kertas kepala desa beserta elite desa tidak mempunyai kewenangan mengontrol penggunaan dana PNPM, tetapi intervensi elite terhadap PNPM tidak bisa dihindari. Penyelenggaraan musyawarah desa, pembentukan Tim Pengelola Kegiatan Desa (TPKD), penyusunan program sampai dengan alokasi dana tidak lepas dari campur tangan kepala desa. Tindakan kepala desa ini memang beralasan. Para kepala desa mengatakan bahwa dirinya adalah penanggungjawab seluruh apa yang terjadi di desa, dan tidak mungkin penguasa desa itu hanya menjadi penonton pasif. Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa tindakan kepala desa ini sebagai bentuk penyerobotan (capture), tetapi setidaknya kepala desa melakukan tindakan politik sebagai siasat lokal yang mengarahkan dana PNPM untuk mendukung perencanaan desa yang telah dibangun.

Kepala desa berkepentingan dalam membentuk TPKD dan kelompok-kelompok penerima manfaat program. Satu hal yang kasat mata, TPKD ditentukan dalam musyawarah dengan cara memilih orang-orang yang sudah biasa kelihatan aktif dalam berbagai kegiatan sosial di desa.Kepala desa tidak mau bertaruh dengan kegagalan jika memberikan kepercayaan pada orang-orang baru untuk mengurus BLM. Tetapi tidak semua kepala desa bertindak seperti itu. Ada juga laporan tentang tindakan pembentukan TPKD dan kelompok yang dilakukan secara tidak transparan karena kepentingan pribadi pada elite desa.

BLM selalu menghadapi dilema dalam membentuk dan merawat kelompok. BLM tidak mengakui dan menggunakan institusi lokal yang sudah ada, tetapi membentuk kelompok-kelompok baru mulai dari Tim Pengelola Kegiatan Desa (TPKD) sampai kelompok-kelompok kecil. Kelompok-kelompok ad hoc perlu dibentuk BLM sebagai saluran dana sekaligus sebagai tempat untuk belajar dan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Tetapi pembentukan kelompok baru ini termasuk dalam kategori pendekatan imposisi yang tidak melakukan rekognisi atas institusi-institusi lokal yang sudah ada.

Kelompok-kelompok ad hoc itu adalah institusi yang prematur. Model pendekatan kelompok dalam pemberian bantuan tampak dipaksakan secara instan, sehingga pembentukan kelompok dilakukan bukan berdasar pada emansipasi lokal, tetapi karena dituntut kepentingan untuk memperoleh dana BLM. Sepanjang program dan uang masih berjalan, kelompok-kelompok itu akan tetap terpelihara. Tetapi kalau program dan uang sudah tidak ada, maka kelompok-kelompok itu akan mati dengan sendirinya, sebagaimana kelompok-kelompok yang dibentuk oleh berbagai kementerian pada masa lalu. Setiap program selalu meninggalkan dan menitipkan kelompok kepada desa. Bagi kepala desa, hal itu adalah beban. Kepala desa biasa bertindak sebagai orang tua asuh atas kelompok-kelompok ad hoc bentukan pemerintah. Kalau desa mampu, maka kelompok itu akan dirawat, tetapi kalau desa tidak mampu maka kelompok itu dibiarkan mati dengan sendirinya.

BLM selalu mengandung dilema ketika berhadapan dengan orang miskin. Di satu sisi dana PNPM maupun PUAP dimaksudkan untuk mengentaskan orang miskin, tetapi di sisi lain pemberian dana bergilir kepada orang miskin selalu rentan macet. Para elite lokal umumnya mengklaim sangat paham perilaku orang per orang di desa sehingga tidak berani mengambil risiko kemacetan atau kegagalan dengan memberikan dana SPP kepada kaum miskin, dan karena itu dana bergulir lebih banyak diberikan kepada kaum perempuan yang sudah mempunyai usaha agar proses pengembalian dana kredit menjadi lancar dan dana bergulir lebih cepat dan membesar. Dana UPK dengan cepat menjadi besar di setiap kecamatan, kabupaten dan bahkan secara nasional karena ditempuh dengan cara membatasi akses kaum perempuan miskin.

Argumen itu juga paralel dengan studi SMERU (2010) tentang dampak PNPM Mandiri Perdesaan di Sumatera Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Tenggara. Secara umum, studi ini menemukan bahwa PNPM-Perdesaan sudah dijalankan dengan baik. Untuk program open menu, hampir semua desa memanfaatkannya untuk pembangunan infrastruktur. Namun, hanya sebagian kecil program SPP-PNPM betul-betul bisa dimanfaatkan oleh warga miskin. Terkait kemiskinan, terjadi penurunan kemiskinan dengan tingkat yang bervariasi di hampir semua wilayah penelitian. Hanya saja, untuk isu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, ada perbedaan besar antara apa yang terjadi di dalam program dan di luar program. Partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas berjalan dengan sangat baik dalam pelaksanaan PNPM-Perdesaan. Namun, di luar PNPM, yaitu dalam pemerintahan desa atau dalam pelaksanaan program selain PNPM-Perdesaan, partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas tetap rendah. Pemberdayaan masyarakat juga tidak berjalan dengan baik, yang bisa dilihat dari kenyataan bahwa hampir tidak ada proyek PNPM yang bersesuaian dengan kebutuhan utama warga miskin.

Paradigma “negara membangun desa” itu selalu menghadapi catatan kritis dari banyak pihak. Berbeda dengan cara pandang negara membangun desa, Bruce Mitchell (1994), telah menunjukkan bahwa kearifan lokal dan struktur pemerintahan tradisional Bali, yang mengutamakan kerjasama, konsensus dan keseimbangan, telah memberikan fondasi yang kuat bagi pembangunan desa yang berkelanjutan. Sebaliknya keputusan pembangunan yang berasal dari luar desa justru menimbulkan masalah dalam inisiatif pembangunan lokal. Tahun 2006, IRE dan Yayasan Tifa memublikasikan dua buah buku yang bertitel, Kaya Proyek Miskin Kebijakan: Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa serta Pembangunan yang Meminggirkan Desa.

Studi Sutoro Eko dan Borni Kurniawan (Bappenas 2010) di lima daerah (Serdang Bedagai, Gunungkidul, Jembrana, Lombok Barat, Gowa dan Ambon) juga menunjukkan kerentanan “negara membangun desa” itu. Pertama, proyek pemberdayaan ekonomi masyarakat desa yang bersifat intervensionis dari negara cenderung rentan dibandingkan dengan gerakan ekonomi yang berbasis pada emansipasi lokal. Kedua, berbagai institusi ekonomi lokal yang kokoh dan berkelanjutan karena ditopang oleh fondasi dan modal sosial yang kokoh.*





Komentar