Artikel Unggulan

Istilah tentang Negara, Desa dan Rakyat oleh Sutoro Eko

6 Desa Membangun Indonesia: Dari Desa Lama Menuju Desa Baru

  

Bab 1 Dari Desa Lama Menuju Desa Baru. Pada tahun 1976 majalah ilmiah terkemuka karya LP3ES, PRISMA, telah mendiskusikan tema “Desa, mau dibawa kemana?”, sebagai sebuah pandangan kritis dan agendatif tentang eksistensi desa. Baik diskusi tema itu maupun tulisan-tulisan PRISMA di sekitar tahun 1976 telah memperhatikan secara serius terhadap isu-isu desa, mulai dari isu otonomi desa, pembangunan desa hingga kemiskinan dan keterbelakangan desa. Padahal pada saat yang sama “pembangunan desa” telah hadir sebagai ikon penting Orde Baru. Pemerintah sangat gencar membangun prasarana fisik desa, pendidikan (SD Inpres), sosial, maupun ekonomi (seperti KUD dan pasar desa). Pembangunan itu telah mengubah wajah fisik desa, sekaligus juga mengantarkan mobilitas sosial orang desa, tetapi tidak cukup memadai menghasilkan transformasi desa (Sutoro Eko, 2005). Artinya wajah desa semakin baik, status dan kemakmuran orang desa juga semakin meningkat, tetapi struktur dan institusi negara, daerah, birokrasi maupun desa tidak mengalami perubahan besar.

Barangkali PRISMA sangat kecewa ketika pertanyaan itu dijawab dengan jawaban terbalik, yakni kehadiran UU No. 5/1979, tiga tahun kemudian. UU ini tidak mengakui, menghormati dan memperkuat otonomi desa, malah sebaliknya melemahkan merusak desa, apalagi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di Luar Jawa karena mereka diseragamkan dengan model desa Jawa. Pasca UU No. 5/1970, “negara masuk desa”, “pembangunan masuk desa” maupun “negara merusak desa” menjadi tema utama studi tentang desa (misalnya Hans Antlov, 1986; Frans Husken, 1998; Yando Zakaria, 2000).

Kelahiran UU No. 22/1999 menjadi fajar baru bagi desa, karena salah satu konsideran UU ini menegaskan: “bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti”. Keragaman, otonomi desa dan demokrasi desa menjadi isu sentral dalam UU No. 22/1999, yang dengan serta merta disambut antusias oleh para NGOs pegiat desa. Hans Antlov, ketika menjadi pejabat teras Ford Foundation, memberikan respons baik dan cepat terhadap UU itu, dengan cara memberikan dukungan terhadap banyak NGOs di berbagai kota untuk melakukan studi dan advokasi terhadap desa. Hans juga ikut menjadi bohir yang melahirkan FPPD (2003).

Pembaharuan desa menjadi isu sentral dalam kajian dan advokasi desa, menyusul lahirnya UU No. 22/1999. Otonomi dan demokrasi desa, yang selama ini mengalami marginalisasi dalam ilmu pengetahuan, kebijakan dan advokasi, tampaknya menjadi isu utama dalam pembaharuan desa. Pembaharuan desa sebenarnya merupakan embrio teori preskripsi (berorientasi ke depan) tentang perubahan desa menuju kehidupan desa yang demokratis, mandiri, sejahtera dan berkeadilan. Sebagai teori preskripsi, pembaharuan desa (sebagaimana terlihat pada sejumlah gagasan yang bertebaran) mengandung dua dimensi penting.

Pertama, refleksi terhadap pengalaman masa lalu, baik secara empirik maupun paradigmatik. Berdasarkan ungkapan banyak pihak maupun sedikit literatur yang terbatas, pembaharuan desa merupakan bentuk refleksi atas kehancuran struktural kehidupan desa (demokrasi, otonomi, kesejahteraan dan keadilan) akibat dari negaranisasi dan kapitalisasi. Secara paradigmatik, pembaharuan desa juga sebagai bentuk refleksi atas kegagalan modernisasi paradigma (developmentalisme) dan struktur kekuasaan otoritarian-sentralistik yang berjalan selama Orde Baru (Dadang Juliantara, 2002; Himawan Pambudi, 2003; Yando Zakaria, 2004 dan Mangku Purnomo, 2004). Keempat penulis ini sama-sama berangkat dari konteks pembangunan (developmentalisme) yang telah memarginalisasi desa. Karya Dadang Juliantara (2002) menyebut tiga krisis (krisis keadilan, krisis produktivitas dan krisis demokrasi) sebagai konteks kelahiran pembaharuan desa. Demikian juga dengan pendapat Mangku Purnomo berikut ini:

"Konsep pembaharuan desa berawal dari keprihatinan berbagai kalangan atas perkembangan pembangunan di negara dunia ketiga yang banyak mengalami ketimpangan, kesenjangan dan berbagai diskriminasi atas rente pembangunan antara daerah dengan pusat. Di tingkat bawah, kesenjangan antara desa-kota sebagai basis perkembangan komunitas lebih terasa karena rente ekonomi selalu diterima oleh lapis atas masyarakat. Persinggungan inilah yang membawa desa pada kondisi konflik berkepanjangan dalam berbagai aspek pembangunan. Kondisi demikian sebenarnya tidak lepas dari cara pandang kekuasaan atas desa dan bagaimana pula pandangan masyarakat atas kota."

Para penulis memang menyebutkan bahwa pembaharuan desa adalah ide baru atau ide perubahan, tetapi mereka umumnya masih belum “percaya diri” untuk menempatkan ide pembaharuan desa sebagai ide alternatif atas pembangunan desa atau developmentalisme. Mangku Purnomo, misalnya, berpendapat bahwa pembaharuan desa bukanlah sebagai pembangunan alternatif atau pembangunan popular (rakyat). Bagi kami pembaharuan desa sebenarnya merupakan konsep alternatif yang bisa disetarakan dengan konsep sustainable rural livelihood yang dikumandangkan oleh ODI dan DFID dari Inggris Raya sebagai kritik mereka atas pembangunan desa terpadu (integrated rural development) atau konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development) yang lahir sebagai kritik atas pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Pembaharuan desa berangkat dari refleksi atas krisis ekonomi-politik-budaya yang menimpa desa, seraya menampilkan ide-ide alternatif untuk menjawab krisis itu. Konsep alternatif ini menyuguhkan konseptualisasi baru yang terkait dengan perubahan kondisi desa, serta menampilkan kerangka kerja dan strategi alternatif untuk perubahan desa secara berkelanjutan.

Kedua, pembaharuan desa adalah sebuah proses transformasi untuk mencapai desa baru yang lebih baik dan bermakna melalui upaya gerakan sosial (Dadang Juliantara, 2002; Himawan Pambudi, 2003; Yando Zakaria, 2004 dan Mangku Purnomo, 2004). Dari sejumlah literatur yang terbatas itu terdapat dua kata kunci penting dalam pembaharuan desa: transformasi dan gerakan sosial. Transformasi adalah perubahan yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjawab berbagai problem ekonomi-politik desa. Transformasi ini membutuhkan gerakan sosial. Pembaharuan desa sebagai gerakan sosial berarti ia bukanlah “cetak biru” yang dibuat pemerintah untuk dijalankan oleh rakyat, melainkan sebagai gerakan yang bertumpu pada prakarsa dan kekuatan masyarakat desa.

Sebagai sebuah teori preskripsi, pembaharuan desa mempunyai visi (cita-cita) yang sangat menonjol. Keempat penulis di atas mempunyai pandangan yang serupa mengenai cita-cita pembaharuan desa. Himawan Pambudi (2003) menegaskan bahwa visi pembaharuan desa adalah tercapainya tatanan politik, ekonomi dan budaya baru di desa yang bersendikan kedaulatan politik, kemandirian dan keadilan ekonomi serta budaya demokratis-egaliter. Tidak jauh berbeda, visi pembaharuan desa versi Mangku Purnomo (2004) adalah mencapai keswadayaan ekonomi, kemandirian politik dan kemapanan kelembagaan lokal menuju desa yang otonom, mandiri, makmur dan mumpuni. Visi pembaharuan desa versi Yando Zakaria (2004) adalah terciptanya desa masa depan yang berlandaskan pada tiga fondasi: keadilan, demokrasi dan kemajuan.

Dadang Juliantara (2002) tidak menyebutkan secara eksplisit visi pembaharuan desa, tetapi ia menegaskan bahwa otonomi desa merupakan syarat dasar pembaharuan desa. Dalam konteks ini masyarakat desa membutuhkan perlindungan hukum yang mengandung tiga dimensi: pemulihan, perlindungan dan peningkatan. Pertama, memungkinkan masyarakat desa untuk memulihkan kondisi mereka sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain membebankan suatu kewajiban pada negara untuk memfasilitasi proses pemulihan kehidupan desa, terlebih destruksi terhadap desa merupakan akibat dari politik perdesaan di masa lalu. Kedua, memungkinkan masyarakat desa untuk melindungi dirinya sendiri dari peluang terjadinya proses yang memerosotkan kualitas hidupnya. Dengan perkataan lain masyarakat desa harus dilindungi agar hidupnya tidak mengalami kemerosotan atau penurunan kualitas. Ketiga, memungkinkan masyarakat desa untuk meningkatkan kualitas hidupnya, terutama melalui suatu proses peningkatan kualitas kehidupan desa, dari lapangan politik, ekonomi sampai sosial budaya. Dengan kata lain, negara dibebani kewajiban untuk mendorong peningkatan kualitas kehidupan desa.

Di saat pemikiran dan gerakan pembaharuan desa itu tengah menggeliat, pemerintahan Megawati begitu risau dengan UU No. 22/1999, termasuk risau dengan konflik antara kepala desa dan Badan Perwakilan Desa. Karena itu sejak 2003 pemerintah telah mengambil inisiatif untuk melakukan revisi terhadap UU yang dianggap terlalu liberal itu. FPPD menangkap kesempatan ini, dengan cara melakukan kajian kembali terhadap kedudukan desa, kewenangan desa, dan tata pemerintahan desa, untuk melakukan advokasi terhadap revisi UU No. 22/1999. Meskipun FPPD sangat aktif membuka ruang aspirasi dan inspirasi untuk mengusung reformasi desa menjelang kehadiran UU No. 32/2004, tetapi upaya itu berlangsung di luar pagar yang tidak terjalin engagement secara memadai dengan pemerintah dan DPR. Pada bulan April 2004, kami menyampaikan gagasan reformasi desa dalam RDPU Pansus Revisi UU No. 22/1999, tetapi DPR tidak memberikan respons dengan baik, malah sebaliknya “menipu” kami dengan mengatakan bahwa DPR tidak menyentuh isu desa dalam revisi itu. Tetapi pada akhir Agustus 2004, seorang pejabat Ditjen PMD Depdagri menyodorkan naskah revisi UU No. 22/1999 yang ternyata melakukan perubahan signifikan mengenai pengaturan desa. Salah satu klausul yang kami nilai sangat kontroversial waktu itu adalah pengisian sekdes dengan PNS dan/atau pengangkatan sekdes menjadi PNS. Secara spontan saya mengatakan: “Wah ini namanya menabur angin, pasti akan menuai badai”. Di hari-hari terakhir masa bakti DPR (1999-2004) itu, konsultasi publik mengenai rancangan pengaturan desa tidak lagi dibuka oleh DPR, sampai dengan pengesahan UU No. 32/2004 pada penghujung kekuasaan Megawati, Oktober 2004.

Beberapa hari setelah pengesahan UU No. 32/2004, kami menggelar diskusi publik di STPMD “APMD” dan di Prambanan. Pejabat PMD, EB Sitorus Alm. (yang juga sebagai anggota SC FPPD), ikut hadir dalam diskusi di STPMD “APMD”. Dua diskusi itu menyampaikan kesimpulan bahwa UU No. 32/2004 menyajikan kemunduran dibandingkan UU No. 22/1999. Pertama, UU No. 32/2004 mengebiri demokratisasi desa dengan penggantian Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Kedua, pengisian sekdes dengan PNS dan/atau pengangkatan sekdes menjadi PNS merupakan birokratisasi desa yang melemahkan otonomi desa, dan berpotensi menciptakan ketegangan sosial di level desa.

Pasca diskusi, FPPD beserta para mitra terus menjalin komunikasi dengan Ditjen PMD. EB Sitorus menyampaikan pesan, sebaiknya FPPD tidak menolak mentah-mentah terhadap UU No. 32/2004 yang memang sudah cacat, sebaliknya perlu mencari langkah-langkah inovatif yang berguna untuk penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Desa. FPPD bersikap untuk tidak ikut terlibat membahas RPP Desa. Sitorus memahami sikap FPPD itu, dan berjanji hendak memasukkan isu-isu inovatif yang sebelumnya telah tumbuh berkembang di FPPD, untuk menyiapkan dan menyusun RPP Desa. Karena sikap FPPD itu, Ditjen PMD bekerjasama dengan BM2 (Bina Masyarakat Mandiri yang dipimpin oleh Tumpal Saragi yang juga anggota SC FPPD), yang didukung juga oleh Tifa Foundation, untuk menyiapkan RPP Desa.

Setahun setelah kehadiran UU No. 32/2004, lahirlah PP No. 72/2005 tentang Desa. Janji Sitorus dituangkan dalam PP itu. Kami sering menilai bahwa PP No. 72/2004 bersifat “subversif” karena mengandung pengaturan yang lebih tegas dan lebih maju dibandingkan UU No. 32/2004. Pertama, PP No. 72/2005 mengatur tentang perencanaan desa (RPJM Desa) sebagai sebuah instrumen untuk membangun partisipasi, demokrasi dan kemandirian desa. Padahal UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No. 32/2004 sama sekali tidak mengenal perencanaan desa. Kedua, PP itu juga menegaskan tentang Alokasi Dana Desa (ADD) yang diambilkan dari sekurang-kurangnya 10% dari total dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota setelah dikurangi belanja pegawai.

Pasca kehadiran PP No. 72/2005, perubahan kepemerintahan dan pembangunan desa terjadi secara inkremental dan signifikan. RPJM Desa dan ADD menjadi ikon utama otonomi desa. Kemitraan yang baik antara Ditjen PMD, pemerintah daerah, sejumlah lembaga donor, perguruan tinggi, FPPD dan banyak LSM ikut menggerakkan “revolusi” RPJM Desa dan ADD itu di berbagai daerah. Pasca 2005 itu banyak LSM lama dan LSM baru yang mengusung tema RPJM Desa dan ADD. Ford Foundation sejak 1999 memberikan dukungan gerakan otonomi desa pada sejumlah LSM di berbagai daerah[1]. Di Aceh, LOGICA AusAID bekerjasama dengan IRE, LSM lokal, pemerintah provinsi dan kabupaten, menggerakkan pemikiran, kebijakan dan gerakan otonomi gampong, termasuk menyemai kepemimpinan baru serta mendorong kehadiran ADG dan RPJMG. Di kawasan timur (Sultra, Sulsel, NTT dan NTB), ACCESS AusAID juga menjalin kerjasama dengan pemerintah dan berbagai LSM untuk mengkatalisasi demokratisasi dan otonomi desa, termasuk mendorong kehadiran RPJM Desa dan ADD.

Kehadiran RPJM Desa dan ADD itu bukanlah proyek, bukan sekadar mengisi blanko perencanaan melalui seremonial Musrenbang. Energi kinetik yang disuntikkan kemitraan itu membuat Musrenbang bukan sekadar seremonial yang formalistik, tetapi sebagai arena kolektif bagi desa untuk mengambil keputusan tentang isu-isu publik dan menggerakkan aset penghidupan lokal. Dari kawasan timur, studi IRE bersama ACCESS menemukan pelajaran penting bahwa perencanaan partisipatif yang melibatkan kaum perempuan dan miskin merupakan tradisi baru yang mampu menembus struktur politik desa yang bersifat aristokratis-parokhial. Kepala desa, perangkat desa, BPD, kader, warga, kaum perempuan dan kaum miskin mempunyai kesempatan yang terbuka, duduk bersama, serta menjalin engagement yang baik. Democratic engagement ini menjadi arena lokal untuk membicarakan, membangun kesadaran publik dan mengambil keputusan tentang isu-isu publik yang menyangkut kepentingan kaum perempuan dan kaum miskin. Karena itu tradisi dan kesadaran baru ini menjadi kekuatan pendorong transformasi dari “desa parokhial” menjadi “desa sipil”, atau desa sebagai institusi publik yang bermanfaat bagi warga.

Sejumlah pengalaman baik di berbagai daerah sebenarnya telah menyuntikkan energi baru dan optimisme baru tentang desa. Ketika Pansus RUU Desa DPR RI dimulai pada awal 2012, kami harus melakukan advokasi dan menyuntikkan energi dan optimisme baru itu. Kami jaringan pejuang desa memperoleh banyak kesempatan baru dan energi baru untuk membangun visi baru yang menjadi modalitas bagi kehadiran UU Desa. Pertama, kami memperoleh jaringan sosial dan jaringan politik yang luas (penggerak lokal, pemerintah daerah, media, pemerintah dan politisi) dalam advokasi desa. Kami memperoleh kesempatan menjalin engagement yang lebih baik dengan Pemerintah, DPD dan DPR untuk melahirkan UU Desa. Kedua, ruang-ruang aspirasi dan inspirasi mengenai reformasi desa terbuka lebar, berlangsung secara dinamis dan bermutu. Ketiga, para pimpinan dan anggota Pansus RUU Desa bertindak inklusif dan berupaya membangun visi baru tentang desa. Meskipun setiap partai politik melakukan politisasi terhadap desa, tetapi para pimpinan Pansus telah membangun visi bersama bahwa inilah kesempatan yang baik untuk melahirkan UU Desa yang lebih progresif, seraya hendak meninggalkan politik kepartaian menuju politik kebangsaan dan politik kerakyatan.

Pada saat deliberasi RUU Desa, gagasan inspiratif tentang reformasi desa bertaburan secara baik dan dinamis. DPD mengusung visi desa sebagai negara kecil yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Partai Golkar mengusung slogan “Membangun Indonesia dari Desa”, sebuah tema yang pernah diangkat menjadi tema Seminar IRE pada tahun 2003. Belakangan, Budiman Sujatmiko (Wakil Ketua Pansus RUU Desa) menelorkan ide “Desa Membangun Negara” (DMN), yang diamini oleh para pimpinan Pansus lainnya.

Melalui perdebatan yang panjang dan dalam, berbagai gagasan progresif bisa dituangkan secara eksplisit dalam UU Desa. Kehadiran UU tentang Desa setidaknya menjadi peletak dasar perubahan desa secara fundamental, meskipun secara empirik telah terjadi perubahan desa secara inkremental selama satu dekade terakhir. Buku yang saya tulis bersama Ari Sujito dan Borni Kurniawan, Mutiara Perubahan (2013), memperlihatkan serangkaian perubahan desa secara inkremental, terutama dari sisi emansipasi lokal, inovasi dan demokratisasi desa, dengan belajar pada pengalaman Desa-desa di Indonesia Timur yang didampingi oleh ACCESS bersama para mitra. Berbeda dengan cara pandang defisit yang sangat pesimis dan meremehkan desa, buku itu mengedepankan cara pandang apresiatif yang membangkitkan optimisme bahwa emansipasi dan demokratisasi desa merupakan sesuatu yang nyata. Bagaimanapun berbagai butir mutiara perubahan desa itu menjadi inspirasi dan modalitas berharga bagi perumusan UU Desa. Budiman Sujatmiko berkali-kali berbicara bahwa UU Desa dimaksudkan untuk memperkuat dan memperluas inovasi dan perubahan desa yang sudah terjadi sebelumnya di berbagai daerah.

Optimisme tentang perubahan desa merupakan semangat yang melandasi dan melekat kuat dalam UU tentang Desa. UU Desa yang oleh dua pimpinan Pansus, Akhmad Muqowam dan Budiman Sujatmiko, disebut sebagai undang-undang “revolusioner” secara jelas meletakkan corpus (bangunan) desa baru yang berbeda dengan desa lama, sebagaimana kami sajikan dalam Tabel 1.1. Tabel ini pada dasarnya merupakan teorisasi baru tentang desa yang berbasis pada pengetahuan berjalan (walking knowledge), yang diperoleh dari banyak pengalaman-pelajaran di berbagai ruang dan waktu.

TABEL 1.1. Perspektif Desa Lama vs Desa Baru


Catatan Kaki:
[1] Sebagai contoh, Ford Foundation memberikan dukungan kepada IRE untuk penelitian tentang desa dan mendukung FPPD untuk keperluan membangun jaringan pembelajaran dan advokasi desa.

Komentar