Artikel Unggulan

Istilah tentang Negara, Desa dan Rakyat oleh Sutoro Eko

5 Desa Membangun Indonesia: Kristalisasi Pengalaman

 

Kristalisasi Pengalaman. Selain belajar dari lapagan, buku ini merupakan hasil kristalisasi dan pergulatan pemikiran saya selama melakukan advokasi di luar pagar dan kemudian menjadi tenaga ahli RUU Desa di dalam pagar: di PMD Kemendagri (2007-2010), Dewan Perwakilan Daerah RI (2011) dan Dewan Perwakilan Rakyat (2013). Sewaktu menjadi tenaga ahli di PMD Kemendagri, saya memasukkan asas subsidiaritas dan konsep kewenangan lokal desa, yang diterima dengan baik oleh Persadaan Girsang (Direktur Pemerintahan Desa dan Kelurahan). Di DPD, saya bersama AA GN Ari Dwipayana dan Robert Endi Jaweng (yang ketiganya merupakan produk Jurusan Pemerintahan FISIPOL UGM), memasukkan asas rekognisi, subsidiaritas dan delegasi, sekaligus keragaman desa dan desa adat, serta konsepsi “negara kecil” untuk memahami makna dan posisi desa.

Pengalaman saya sebagai tenaga ahli bersama Zen Badjeber, Yando Zakaria dan Suhirman di Pansus DPR RI mulai akhir Februari 2013, sungguh lebih seru, menarik dan menantang. Para pimpinan Pansus RUU Desa (Akhmad Muqowam, Budiman Sujatmiko, Ibnu Mundzir dan Khotibul Umam Wiranu) merupakan pimpinan pejuang RUU Desa yang berkenan mambawa saya dari luar masuk ke dalam tim tenaga ahli RUU Desa. Ketika kerja-kerja Pansus tengah berlangsung, saya bersama Arie Sujito dan Abdur Rozaki beberapa kali melakukan komunikasi dan lobby kepada mereka, dan kemudian saya menemukan arena dan suasana yang sangat menarik dan menantang ketika saya masuk ke dalam tim RUU Desa. Sungguh, saya memperoleh pelajaran sangat berharga: bagaimana melakukan transformasi dari pengetahuan menuju kebijakan, dari cara berpikir empirik-teoritis ke cara berpikir strategis, dari kerja akademik ke kerja politik.

Bekerja politik secara strategis di ranah kebijakan mengharuskan saya untuk mempertimbangkan fisibilitas pengetahuan, regulasi, aspirasi dan politik. Komunikasi dan kompromi politik harus dilakukan secara lentur dan sabar, tentu tanpa kehilangan rasionalitas secara keilmuan. Saya, Yando Zakaria dan Suhirman plus Bito Wikantosa selalu berdebat keras membuat rumusan dan terus menerus melakukan lobby ke samping kanan kiri serta ke atas dan ke bawah. Meskipun saya sebagai tenaga ahli DPR, tetapi saya bersama Bito Wikantosa selalu hadir di Pasar Minggu (Kantor PMD), untuk berdiskusi dengan tim pemerintah. Direktur Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Gatot Yanrianto, sangat terbuka dengan kehadiran saya, dan selalu mengajak saya untuk berdiskusi, agar bisa membantu pencarian titik temu antara Senayan dan Pasar Minggu. Para pendekar RUU Desa di PMD, Dardjo Sumardjono (mantan Dirjen), Persadaan Girsang (mantan direktur) dan Eko Prasetyanto (Kasubdit Pengembangan Desa), juga terbuka dengan kehadiran saya meskipun saya sebagai tenaga ahli DPR. Ketika di PMD, saya tidak hanya berdiskusi dengan tim Direktorat Pemdes, tetapi juga berdiskusi dengan tim Direktorat Usaha Ekonomi Masyarakat dan tim Direktorat Pemberdayaan Adat dan Sosial Budaya. Karena saya mondar mandir Senayan-Pasar Minggu, maka banyak orang (termasuk para kolega di PMD) mengatakan dengan nada joke: Sutoro Eko berdiri di dua kaki (DPR dan Pemerintah). Bahkan ada yang menyebut saya sebagai agen ganda.

Sebenarnya bukan hanya dua kaki. Kami berempat (Sutoro Eko, Yando Zakaria, Suhirman plus Bito Wikantosa) juga bertindak sebagai jangkar dari pelaku lain, seperti jaringan PNPM, jaringan Kepala Desa, serta jaringan pejuang desa (IRE, STPMD, FPPD, FITRA, ACCESS, FORMASI, Koalisi Perempuan Indonesia, INFID, dan sebagainya). Kami sering melakukan diskusi dengan mereka. M.B Hoelman yang akrab dipanggil Choki (Tifa Foundation) dan Farid Hadi Rahman (ACCESS) selalu menyediakan “warung” bagi kami untuk melakukan diskusi antara tenaga ahli RUU Desa dengan jaringan CSOs. Pergaulan dan pertautan kami dengan mereka bukan untuk justifikasi dan legitimasi, tetapi kehadiran mereka merupakan arena pengetahuan dan gerakan sosial, yang mewarnai dan mempengaruhi proses politik.

Meskipun UU Desa sarat politik, dan beraroma gerakan sosial, namun saya meyakini dan merasakan bahwa pengetahuan tetap merupakan kekuasaan. Pengetahuan tetap sangat mempengaruhi bangunan UU Desa. “Kita punya tenaga ahli, sehingga setiap pasal dan argumen yang kita bangun harus rasional, jangan sampai kita ditertawakan oleh Sidang Paripurna, karena membuat rumusan yang tidak rasional”, demikian ungkap Aliwongso Sinaga, anggota Pansus dan Timus RUU Desa. Bagaimanapun deretan konsep dan norma dalam UU Desa merupakan konseptualisasi dan konsolidasi pengetahuan (teori dan data) yang diperdebatkan, dirumuskan dan diputuskan secara politik. Exercise data, misalnya, sangat dibutuhkan untuk menghasilkan keputusan politik yang rasional, fisibel dan meyakinkan.

Sampai sekarang kami berempat (Sutoro Eko, Yando Zakaria, Suhirman dan Bito Wikantosa) masih terus melakukan konsolidasi untuk mengawal Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan UU Desa. Banyak orang menyebut kami bertiga (Sutoro Eko, Yando Zakaria, Suhirman) sebagai “Trio Desa”, tetapi saya lebih suka menyebut secara narsis sebagai Catur Sakti Desa (seperti jargon bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya). Bito Wikantosa selalu bicara tentang desa berdaulat secara politik; saya menonjolkan desa bertenaga secara sosial sebagai fondasi demokrasi desa, kemandirian desa dan pembangunan desa; Suhirman cocok merepresentasikan semangat desa berdaya secara ekonomi karena dia spesialis pembangunan desa dan keuangan desa; dan Yando Zakaria yang antropolog dan concern pada desa adat, saya identifikasi cocok dengan semangat desa bermartabat secara budaya. Rupanya Bito Wikantosa tidak cocok dengan Catur Sakti Desa. Dengan tertawa dia berseloroh: “Catur Sakti itu kreasi Mas Toro, kalau saya lebih cocok dengan Tri Sakti Bung Karno”. Sebagai seorang nasionalis, Bito sangat suka dengan jargon desa berdikari, sebuah jargon yang dipakai Gubernur Ganjar Pranowo di Jawa Tengah. Saya menjawabnya: “Ini bukan perbedaan ideologi, tetapi cuma soal selera. Seperti makan di rumah makan Padang, Mas Bito suka gulai kepala kakap, saya suka rendang”.*




Komentar