Artikel Unggulan

Istilah tentang Negara, Desa dan Rakyat oleh Sutoro Eko

4 Desa Membangun Indonesia: Village Driven Development (VDD)

Buku "Desa Membangun Indonesia". Banyak jalan yang bisa ditempuh untuk mengantarkan dan mendaratkan UU Desa sampai ke level paling bawah. Pemerintah biasa melakukan sosialisasi, bimbingan teknis maupun menerbitkan peraturan pelaksanaan dan pedoman teknis. Publikasi buku yang berbicara tentang UU Desa merupakan jalan lain yang bisa ditempuh. Menurut hemat kami ada dua cara penyajian buku. Pertama, buku yang disajikan secara tekstual dengan cara based on Undang-undang Desa. Artinya buku disusun terstuktur dan sistematis ke dalam banyak bab mengikuti bab-bab dalam undang-undang, setiap bab menguraikan norma (pasal dan ayat), yang disertai dengan narasi penjelasan dan lebih baik lagi bila disertai dengan contoh-contoh konkret sebagai simulasi agar memudahkan pemahaman. Kedua, buku yang disajikan secara kontekstual dengan cara melampaui (beyond) UU Desa. Cara kedua ini bukan berarti meninggalkan Undang-undang, melainkan memberikan tafsir dan elaborasi atas undang-undang tanpa harus disampaikan secara terstruktur sesuai dengan sistematika seperti pada cara pertama. Elaborasi dilakukan secara bebas dan tematik disertai dengan narasi konseptual dan ilustrasi data.

Buku tekstual bagaimanapun tetap diperlukan agar setiap orang bisa memahami Undang-undang Desa secara sistematis, utuh dan lengkap. Namun buku ini memilih cara kontekstual ketimbang tekstual. Secara metodologis buku ini mengandung dialog antara teks UU Desa yang kami maknai secara tematik dengan konteks empirik. Karena itu buku ini tidak semata bersifat normatif-preskriptif, artinya tidak semata mengungkap norma-norma ideal dalam UU yang kemudian dijadikan resep untuk merekayasa perubahan Desa. Secara kontekstual buku ini juga bersifat reflektif-deskriptif, artinya buku ini juga menampilkan refleksi banyak pemikiran baru yang releven dengan UU Desa dan perkembangan Desa, sekaligus juga mendeskripsikan pelajaran berharga dan pengalaman empirik yang diperoleh dari banyak Desa, khususnya Desa-desa ACCESS. Dengan cara dialog antara dimensi normatif-preskriptif dengan reflektif-deskriptif itu kami berharap buku ini mampu mengantarkan dan mendaratkan UU No. 6/2014, dari level kebijakan makro-nasional menuju ranah gerakan dan tindakan mikro-lokal. Pelajaran dan pengalaman empirik yang kami ungkapkan dalam buku ini juga diharapkan menjadi contoh konkret dan inspirasi bagi implementasi UU Desa.

Penyajian buku dengan gaya kontekstual bisa secara lentur mengedepankan tema-tema khusus yang menarik, sejauh tidak mengabaikan keutuhan undang-undang atau menyimpang dari visi dan substansi undang-undang. Ibarat masuk rumah yang berpintu banyak, orang bisa memilih salah satu pintu masuk, yang tetap mengetahui bangunan utuh rumah beserta seluruh isinya. Dalam konteks Undang-undang Desa, setiap orang bisa memilih sudut (angle) yang berbeda-beda untuk dijadikan tema buku, misalnya sudut dan tema kemandirian Desa, demokratisasi, pembangunan Desa, keuangan dan aset Desa, dan lain-lain. 

Dengan pintu masuk pembangunan Desa, buku ini sengaja mengambil tema –-yang layak disebut sebagai jargon provokatif–- Desa Membangun Indonesia. Tema ini sebenarnya pernah dikedepankan oleh Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” dalam sebuah policy paper yang disajikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pansus RUU Desa DPR RI, akhir Mei 2012. Kami merasa perlu mengangkat kembali tema itu agar lebih bertenaga dan soundly yang lebih luas. Frasa “Desa Membangun Indonesia” sebenarnya mengandung beberapa makna.

Pertama, Desa membangun dilihat dari sisi makna pembangunan Desa. Dalam konteks ini Desa membangun berbeda dengan membangun Desa. Meskipun membangun Desa bermakna pembangunan perdesaan (antardesa) yang berada di luar domain Desa, namun praktik selama ini adalah negara membangun Desa, yang ditempuh dengan cara intervensi dan imposisi negara ke dalam Desa, yang justru melemahkan eksistensi Desa. Jika membangun Desa bermakna negara hadir di depan, sebagai aktor utama yang membangun Desa, maka Desa membangun berarti pembangunan Desa yang dimulai dari belakang (Robert Chamber, 1987). Negara berdiri di belakang Desa, atau tut wuri handayani. Dengan demikian Desa membangun berarti Desa mempunyai kemandirian dalam membangun dirinya (self development).

Kedua, Desa membangun dilihat dari sisi pendekatan pembangunan. Anggota Pansus Desa DPR RI, Totok Daryanto, sangat getol berbicara tentang “Desa sebagai alternatif pendekatan pembangunan”. Totok menegaskan bahwa pembangunan Desa merupakan alternatif atas pembangunan yang bias sektor dan bias kota, sehingga Desa mampu menjadi basis kehidupan dan penghidupan, yang sekaligus juga berdampak terhadap pengurangan urbanisasi. Dalam perspektif ini, Desa bukan menjadi objek dan lokasi proyek pembangunan, melainkan Desa menjadi basis, subjek dan arena pembangunan.

Ketiga, Desa membangun dilihat dari sisi aktor pembangunan. Titik ini melahirkan ide tentang pembangunan yang digerakkan oleh Desa (village driven development --VDD), sebagai alternatif atas pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat (community driven development --CDD) dalam penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan, yang sudah dijalankan oleh pemerintah selama hampir dua dekade terakhir. PNPM Mandiri Perdesaan merupakan program CDD paling besar yang dijalankan oleh Indonesia. Dalam berbagai kesempatan saya mengatakan bahwa PNPM Mandiri Perdesaan telah memberikan seribu satu manfaat tetapi juga mendatangkan sejuta kerugian. Kolega saya, Bito Wikantosa, yang sudah 14 tahun bergelut mengurus PPK hingga PNPM, berujar: “CDD PNPM tepat pada jamannya ketika desa berbentuk pemerintahan semu, tetapi sekarang karena UU Desa sudah mendudukkan Desa dengan benar sebagai hybrid antara self governing community dan local self government, maka CDD-PNPM harus berakhir. CDD digantikan dengan VDD”.

UU Desa memang sengaja menghadirkan VDD untuk menggantikan CDD, seraya melipat dan mengonsolidasikan PNPM ke dalam sistem Desa. Pada sidang RUU Desa, 30 September dan 12 Desember 2013, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menyetujui usulan Dana Desa dari APBN, dengan cara mengonsolidasikan program-program K/L berbasis Desa. Satu Dana Desa sudah mencakup semuanya, sehingga tidak perlu lagi ada PNPM, PUAP, PPIP, PAMSIMAS dan lain-lain. Namun UU Desa tidak sepenuhnya meninggalkan PNPM. Sejumlah warisan dan pelajaran PNPM (seperti kepastian dana, penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan, pendampingan, tatakelola yang baik, swakelola, partisipasi masyarakat) tetap diakomodasi dan dilembagakan dalam UU Desa. Kalau UU Desa sudah menciptakan bangunan secara utuh dan kokoh, maka kedepan tidak perlu lagi ada program-program K/L berskala lokal Desa masuk ke Desa dengan judul apa pun, termasuk judul Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PKPM). PKPM ini ibarat permainan footsal yang digelar bersamaan dengan permainan sepak bola di lapangan sepak bola. Kalau pemerintah mau menggelar penanggulangan kemiskinan, maka jalan terbaik yang ditempuh adalah menelorkan kebijakan berskala nasional semisal Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Penanggulangan kemiskinan (PK) di ranah lokal bisa ditempuh dengan pendekatan mainstreaming dalam pembangunan. Jika K/L tetap mau masuk ke ranah lokal, maka bisa masuk ke kelompok pelaku ekonomi lokal, tanpa harus menciptakan struktur paralel yang merusak sistem Desa: yakni ibarat menggelar permainan footsal di lapangan footsal, bukan bermain footsal di lapangan sepak bola pada waktu bersamaan.

Keempat, “Desa membangun Indonesia” merupakan rangkaian frasa utuh, yang mengandung tiga komponen penting: makna, pendekatan dan aktor. Sebagai sebuah jargon, Desa Membangun Indonesia (DMI) berbeda dengan tema Desa Membangun Negara (DMN) yang pernah dikemukakan oleh Budiman Sujatmiko maupun Membangun Indonesia dari Desa (MID) yang menjadi jargon politik Partai Golkar. Ide DMI tentu mempunyai cakupan lebih luas daripada NMD, yakni bahwa Desa mempunyai emansipasi dalam membangun Indonesia baik negara, bangsa, maupun warga masyarakat Desa sendiri. Sedangkan ide MID menempatkan Desa sebagai fondasi maupun titik berangkat pembangunan, bahwa pembangunan bukan dari atas ke bawah (top down) tetapi berangkat dari bawah (bottom up), yakni dari Desa. Kalau Desa baik, kuat dan makmur maka capaian itu akan meluas pada skala regional sampai skala nasional. Ide DMI juga sebagai alternatif atas pola Indonesia Membangun Desa (IMD) yang selama ini dijalankan oleh negara. Jika IMD –-yang selama ini dihadirkan dengan pola pembangunan yang digerakkan negara (state driven development), pembangunan yang digerakkan oleh pasar (market driven development) maupun pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat (community driven development) –-melemahkan desa dan cenderung “membangun istana pasir”, maka DMI adalah memperkuat Desa sebagai pendekatan, arena dan subjek pembangunan, yang sesuai dengan petuah “sedikit demi sedikit menjadi bukit”. Intinya, DMI adalah emansipasi Desa untuk Indonesia, yakni Desa menjadi basis kehidupan dan penghidupan (basis sosial, basis ekonomi, basis politik, basis budaya), termasuk Desa bermanfaat mengelola kepentingan masyarakat maupun melayani kebutuhan warga Desa.

Buku ini sengaja dihadirkan untuk mengantarkan perjalanan UU Desa ke berbagai ruang dan ranah. Dengan menghadirkan buku ini, kami berkeyakinan bahwa misi besar UU Desa bukan sebuah eutopia, tetapi telah ada banyak serpihan bukti empirik sebagai contoh yang membangkitkan optimisme bahwa perubahan desa merupakan keniscayaan. Dalam berbagai kesempatan diskusi dan sosialisasi, saya berujar bahwa perubahan desa memang tidak mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit. Desa memang tidak bisa dipandang secara romantis (bahwa kehidupan desa mengandung harmoni, bahwa semua aspek kehidupan berjalan baik, bahwa semua orang desa bertindak baik), tetapi juga bukan berarti bahwa perubahan desa tidak bisa direkayasa. Pembelajaran dan pendampingan fasilitatif yang utuh, intensif dan mendalam --bukan pembinaan impositif dari pemerintah-- merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk merakayasa perubahan desa.

Secara sepintas buku ini memiliki kemiripan dengan buku yang saya tulis bersama Arie Sujito dan Borni Kurniawan, Mutiara Perubahan: Inovasi dan Emansipasi Desa di Indonesia Timur, yang dipublikasikan oleh IRE. Tentu ada argumen dan data yang sama antara buku Mutiara Perubahan (MP) dengan buku Desa Membangun Indonesia (DMI) ini. Tetapi kedua buku ini mempunyai konteks, makna, maksud dan metode yang berbeda. Buku MP berangkat dari dua konteks: perubahan yang tengah terjadi di desa-desa dampingan ACCESS dan proses deliberasi RUU Desa yang tengah berlangsung pada tahun 2012/2013. Kedua konteks ini berbeda ruang dan ranah, namun buku MP berupaya menyambungkannya. Secara metodologis buku MP bekerja dengan nalar dan metode induktif (dari bawah ke atas), yakni melakukan eksplorasi lapangan sekaligus menarik abstraksi (mutiara), yang menjadi sumber inspirasi dan amunisi advokasi terhadap RUU Desa. Sedangkan buku DMI disiapkan setelah UU Desa hadir di penghujung akhir 2013. Jika buku MP menggunakan metode induktif (dari bawah ke atas), buku DMI menggunakan nalar-metode deduktif (dari atas ke bawah), atau dari substansi UU ke dunia praktik dan empirik. Buku DMI dimaksudkan untuk memberi makna atas UU Desa, sekaligus mengantarkan perjalan- an UU baru ini ke ranah lokal. Sekali lagi, cerita perubahan di desa-desa dampingan ACCESS, bukan diabstraksi menjadi mutiara, melainkan menjadi data dan contoh untuk narasi UU Desa.

Buku DMI ini bukanlah sebuah novel yang menampilkan cerita mengalir secara kronologis, melainkan menyajikan serpihan tema-tema penting yang saling terkait dan terajut dalam bangunan desa. Bab 1 menampilkan teori desa, dengan menampilkan perubahan dari desa lama menjadi desa baru. Bab 2 berbicara tentang basis (fondasi) sosial desa yang membentuk desa bertenaga secara sosial. Dimensi sosial, yakni modal sosial, merupakan landasan bagi pemerintahan desa hingga pengembangan ekonomi lokal, sebab dalam desa, setiap orang, kelompok, organisasi, maupun pemerintah desa saling berhubungan secara dekat. Jika fondasi sosial lemah, atau jika modal sosial lemah, maka sulit bagi desa menghasilkan kepimpinan yang mengakar, demokrasi yang kokoh dan institusi ekonomi yang kuat dan berkelanjutan.

Bab 3 berbicara tentang kemandirian yang menjadi jantung desa berdaulat secara politik. Prakarsa dan kewenangan desa, negosiasi dan advokasi, perencanaan dan penganggaran desa serta kapasitas dan kinerja desa merupakan isu-isu terkemuka di bawah rubrik kemandirian desa. Jika bab 3 mengungkap “kuasa desa”, Bab 4 menampilkan “kuasa rakyat” atau “rakyat berdaulat secara politik” dalam tema demokrasi desa. Bab 5 dan bab 6 secara berurutan termasuk dalam tema besar pembangunan desa. Bab 5 secara khusus menampilkan tema desa bermanfaat melayani warga, dan Bab 6 mengambil tema desa bergerak membangun ekonomi. Seluruh rangkaian narasi buku ini ditutup pada Bab 7 yang menampilkan udar gagasan tentang optimisme dan keniscayaan perubahan desa.*








Komentar