Artikel Unggulan

Istilah tentang Negara, Desa dan Rakyat oleh Sutoro Eko

3 Desa Membangun Indonesia: UU Desa sebagai Senjata

Prawacana. Setelah menempuh perjalanan panjang selama tujuh tahun (2007- 2013), RUU Desa akhirnya disahkan menjadi Undang-undang Desa pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 18 Desember 2013. Mulai dari Presiden, Menteri Dalam Negeri beserta jajarannya, DPR, DPD, para kepala desa dan perangkat desa, hingga para aktivis pejuang desa menyambut kemenangan besar atas kelahiran UU Desa. Berbeda dengan beleid masa-masa sebelumnya, UU Desa yang diundangkan menjadi UU No. 6/2014, menegaskan komitmen politik dan konstitusional bahwa negara melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kokoh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Dengan bahasa yang lain, Ketua Pansus Desa, Akhmad Muqowam, mengemukakan bahwa UU Desa ini hendak membuat desa bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya, yang dikenal sebagai Catur Sakti Desa.

Visi dan komitmen tentang perubahan desa juga muncul dari pemerintah. Perubahan cara pandang dan komitmen pemerintah terhadap desa sungguh luar biasa bila dibandingkan substansi RUU Desa yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada awal Januari 2012. Pada waktu itu berbagai pihak, terutama DPR, umumnya berpendapat bahwa “Naskah RUU Desa versi pemerintah tidak sebagus naskah akademiknya”. Namun setelah melewati perdebatan panjang dalam Pansus, Panja, Tim Perumus antara pemerintah, DPR dan DPD, terjadilah sebuah kompromi agung tentang perubahan desa. Pidato Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dalam Sidang Paripurna berikut ini mencerminkan visi dan komitmen baru pemerintah tentang perubahan desa:

"Rancangan Undang-Undang tentang Desa akan semakin komprehensif dalam mengatur Desa serta diharapkan akan mampu memberikan harapan yang besar bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan pemerintahan Desa. Rancangan Undang-Undang tentang Desa yang hari ini disahkan, diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan di desa yang meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, serta memulihkan basis penghidupan masyarakat desa dan memperkuat desa sebagai entitas masyarakat yang kuat dan mandiri. Desa juga diharapkan dapat menjalankan mandat dan penugasan beberapa urusan yang diberikan oleh pemerintah provinsi, dan terutama pemerintah kabupaten/kota yang berada diatasnya, serta menjadi ujung tombak dalam setiap pelaksanan pembangunan dan kemasyarakatan. Sehingga, pengaturan Desa juga dimaksudkan untuk mempersiapkan Desa dalam merespon proses modernisasi, globalisasi dan demoktratisasi yang terus berkembang tanpa kehilangan jati dirinya.

Dengan pengaturan seperti ini, diharapkan Desa akan layak sebagai tempat kehidupan dan penghidupan. Bahkan lebih dari itu, Desa diharapkan akan menjadi fondasi penting bagi kemajuan bangsa dan negara dimasa yang akan datang.

Disamping itu, Undang-Undang tentang Desa ini diharapkan mengangkat Desa pada posisi subjek yang terhormat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena akan menentukan format Desa yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokal, serta merupakan instrumen untuk membangun visi menuju kehidupan baru Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera."

Bukan hanya para pejuang yang berbicara tentang komitmen dan visi perubahan desa. UU No. 6/2014 lahir pada saat yang tepat, pada tahun politik, yang penuh hingar bingar. Insentif politik mendorong para politisi berjuang melahirkan UU Desa. Namun UU Desa juga berdampak politik secara luas. Begitu banyak partai politik maupun calon legislatif yang tidak berjuang secara langsung, hadir menjadi penumpang gratis (free rider), mengklaim diri mereka sebagai pejuang UU Desa. Mereka menjual UU Desa –-yang menjanjikan dana besar kepada desa-– untuk memobilisasi dukungan massa.

Meskipun tidak memeroleh media coverage yang penuh hingar bingar, UU Desa disambut dengan penuh euforia oleh orang-orang desa. Euforia dan semangat baru saya saksikan langsung ketika saya melakukan sosialisasi UU Desa di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Mataram, Buton, Sumba dan Kupang. Dirjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Tarmizi A. Karim, juga memberi kesaksian serupa: “UU Desa disambut luar biasa oleh masyarakat; ada semangat baru yang hidup dan ada new lifes yang akan segera hadir di desa”.

Semangat baru itu bukan berlebihan, sebab jalan perubahan menuju desa baru sudah digariskan oleh UU Desa. Redistribusi uang negara (dari APBN dan APBD) kepada desa, yang menjadi hak desa, merupakan isu utama perubahan relasi antara negara dan desa. “Kalau seluruh pasal dalam UU Desa ini diperas menjadi satu pasal, maka isinya adalah pasal tentang uang desa”, demikian diungkapkan berkali-kali oleh Akhmad Muqowam. Uang desa dalam jumlah yang besar inilah yang membangkitkan semangat baru bagi desa, dan sebaliknya juga menghadirkan pesimisme dan kekhawatiran banyak pihak akan bahaya korupsi yang bakal dilakukan kepala desa beserta perangkat desa.

Namun UU Desa bukan sekadar uang. Mulai dari misi, tujuan, asas, kedudukan, kewenangan, alokasi dana, tata pemerintahan hingga pembangunan desa, menunjukkan rangkaian perubahan desa yang dihadirkan oleh UU Desa. Namun perubahan tidak berhenti pada undang-undang meskipun melahirkan UU Desa ini membutuhkan perjuangan dan perjalanan panjang. Kita percaya pada sebuah diktum: “Peraturan bukan segala-galanya, tetapi segala sesuatunya membutuhkan peraturan. Peraturan yang baik tidak serta merta melahirkan kebaikan dalam waktu cepat, tetapi peraturan yang buruk dengan cepat menghasilkan keburukan”.

UU Desa ini memberikan kesempatan bagi desa dan senjata bagi rakyat desa untuk melancarkan perubahan. “UU Desa ini jangan hanya menjadi “keris perhiasan” tetapi harus menjadi “keris pusaka” atau senjata bagi rakyat desa untuk melakukan perubahan”, demikian ungkap kolega saya, Bito Wikantosa, yang juga pejabat di Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kementerian Dalam Negeri. Artinya kalau UU itu tidak dijalankan maka ia akan tidur, dan perubahan tidak akan terjadi. Kalau rakyat tidak menggunakan UU Desa sebagai senjata, maka rakyat juga tidak berdaulat, dan desa juga tidak akan berubah. BPD akan menjadi lebih kuat, dan demokrasi desa akan menjadi lebih hidup, jika BPD benar-benar bertindak menggunakan UU Desa sebagai senjata.*

Komentar