pada tanggal
Sutoro Eko
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
![]() |
Borni Kurniawan |
Hakikinya, DD adalah hak desa. Di dalam UU Desa, negara memberikan pengakuan (rekognisi) dan subsidiaritas kepada desa. Merekognisi berarti negara mengakui dan menghormati desa dari aspek eksistensi, kelembagaan dan prakarsa desa. Desa memiliki keragaman bentuk, penyebutan sampai dengan model kelembagaan di dalamnya. Meski beragam, desa mampu berprakarsa melahirkan peradaban dan peri kehidupan yang pada akhirnya menjadi akar dan langgam budaya bangsa Indonesia sebagaimana kita hela sampai sekarang ini. Sebagai contoh keberdayaan ekonomi berbasis industri wisata dan ekonomi pertanian di Bali tidak lepas dari kemampuan desa-desa di dalamnya mentransformasikan konsep Tri Hita Kirana ajaran Empu Markandya ke dalam ruang kebijakan dan kehidupan sosialnya. Konsep Tri Hita Kirana hinggi kini masih dipakai sebagai pendasaran “city branding” Bali.
Subsidiaritas disalahartikan negara memberi subsidi uang. Padahal azas ini mengandung makna negara memberikan ruang kepada desa untuk menetapkan kewenangannya berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Tujuannya untuk memastikan kemandirian desa dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakat dan pemberdayaan masyarakat desa. Tradisi sebelumnya, dalam tata pembangunan nasional, desa dipinggirkan. Desa menjadi obyek pembangunan. Asas subsidiaritas membalik tradisi lama tersebut. Prakarsa desa menjadi bagian dari ruh bukan jasadi sistem pembangunan nasional. Dalam kerangka ini, pembangunan desa tidak lagi ditumpukan pada skenario pemerintah membangun atau membangunkan desa, tapi desa yang membangun dirinya dalam kerangka NKRI.
Pendangkalan Makna UU Desa
Isu-isu politik yang menggelinding liar beberapa minggu terakhir mengarah pada penyederhanaan makna UU Desa. UU Desa dimampatkan maknanya menjadi “uang” atau DD tadi. Bahkan pemaknaan yang dangkal ini sedang mengarah pada delegitimasi UU Desa. Ini tidak boleh terjadi. Karena UU Desa adalah simbol perjuangan dan kemenangan desa terhadap sistem yang tiran dan meminggirkan desa. Dan, UU Desa mengemban khittah membangun Indonesia dari desa.
Penyederhanaan UU Desa tersebut dapat kita baca dari banyaknya aktivitas yang ditunjukkan Menko Polhukam yang berkeliling ke banyak daerah dan singgah ke beberapa kelompok masyarakat dan organisasi keagamaan. Pada kesempatan tersebut Menko Polhukam berkali-kali menghimbau kepada pihak yang dikunjunginya agar turut serta mengawasi penggunaan DD. Bahkan, Babinsa akan ia gerakan turun ke desa untuk apalagi kalau mengawasi penggunaan DD.
Sikap tersebut dapat dimaknai pertama sebagai daya pemahaman dan dukung yang rendah dari pemerintah atas desa. Pemerintah menaruh kecurigaan yang berlebihan kepada desa, dan mengenyampingkan trust. Kedua, pemerintah lebih mengedepankan pendekatan pengawasan daripada fasilitasi dan pendampingan kepada desa. Pemerintah seharusnya bisa menjadi mitra dan guru yang dapat melakukan pembelajaran bersama dengan desa, agar kapasitas desa mumpuni dan tidak korupsi. Ketiga, pemerintah tidak nyadari arti pentingnya penghargaan atas modalitas sosial yang secara sosiometrik melekat bahkan menyetubuh pada desa. Desa punya cara tersendiri menjaga sumber daya yang dimilikinya agar tidak dikorupsi di satu sisi dan melahirkan kemaslahatan pada sisi yang lainnya. Keempat, pemerintah pada hakikatnya secara tidak langsung membuka aibnya sendiri atas prestasi kinerja membangun desa yang puluhan tahun diperankan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Kalau begitu, apa prestasi Kemendagri kepada desa kalau sampai hari ini desa masih dianggap tidak punya kapasitas perencanaan, penganggaran, pengelolaan keuangan dan potensial melakukan korupsi. Alih-alih ketika negara ini menyematkan penghormatan kepada desa untuk mengelola keuangan pembangunan sendiri (APBDes), pemerintah malah phobia pada bayangan kinerjanya bertahun-tahun di bawah Kemendagri. Dampak dari phobia tersebut, pada akhirnya mengkondisikan pemerintah sendiri membuat berbagai produk aturan dan kelembagaan yang merumitkan dan mengkerangkeng prakarsa desa membangun. Sekali lagi pemerintah tidak menyadari bahwa negara melalui UU Desa telah memberikan kewenangan tata kelola pembangunan kepada desa sesuai dengan koridor kewenangan desa.
Mempercayai Desa
Bertahun-tahun cara pandang kita bawaannya curiga terus kepada desa. Seperti tak ada celah lagi dalam pikiran dan hati kita untuk menyalutkan kepercayaan kepadanya. Bukankah adil mulai dari pikiran lebih baik daripada melahirkan produk kebijakan yang melanggengkan ketidakadilan. Terlepas dari stigma buruk yang disematkan kepada desa terkait dengan kebijakan transfer fiskal DD, secara penyerapan DD tergolong baik. Menurut laporan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi tahun 2015, desa mampu menyerap dan menggunakan DD sebesar 82% dari total DD 22,7 Triliun. Dari 82% tersebut teridentifikasi, sebesar 89,4% untuk mendukung kegiatan bidang pembangunan desa, 5,4% untuk mendukung kegiatan bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, 2,6% untuk bidang pembinaan kemasyarakat dan 2,6% untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Sebenarnya tidak sedikit desa mampu membelanjakan DD sekaligus menggali potensi penerimaan desa dengan baik. Kepala Desa Suka Maju (I Wayan Teguh) Kecamatan Lunyuk Kabupaten Sumbawa melaporkan BUMDesa-nya mampu mengelola modal sebesar 2 miliar. Penyerapan DD mencapai 100%. Total DD yang diterima sebesar Rp 283.158.000,-, sebesar Rp 80.071.000,- untuk pembangunan drainase sepanjang 217 meter. Rp120.467.000,- untuk pembangunan drainase sepanjang 500 meter. Penimbunan jalan usaha tani sepanjang 800 meter dibiayai anggaran Rp 82.093.000,-. Pembangunan pondasi jembatan gantung Rp 69.457.000,-, untuk penimbunan gang kuburan Rp 11.990.000,-, pemasangan paving blok halaman kantor desa Rp 17.409.000,-, untuk rehab enam decker Rp 15.325.000,- dan penyertaan modal BUMDesa sebesar Rp 50.000.000,-.
Demikian pula dengan laporan Kades Binusan (M. Untung) Kecamatan Nunukan Kabupaten Nunukan. Penyerapan DD-nya 100%. Desa pesisir dengan penduduk 5.000 jiwa ini mengelola DD tahun 2015 sebesar Rp 414.744.488,-. Rincian pembelanjaannya diantaranya untuk memperbaiki jalan sepanjang 400 x 4 meter Rp 53.215.000,-, membuat gapura batas desa 7 m x 2 m Rp 68.997.210,-, membangun jalan menuju tambatan perahu Rp 81.100.000,-, dan membangun badan jalan pemukiman ke tambak desa dengan ukuran 2 m x 5 m dibiayai Rp 54.200.000,- (Kusumo dan Maryani, 2016).
Yang menarik di balik kemampuan teknokratik desa mengelola DD dari dua desa di atas adalah kebersahajaan pemerintah desa dan masyarakat desa melakukan rangkaian musyawarah desa, mulai dari merencanakan, menganggarkan, melaksanakan secara swakelola hingga mempertanggungjawabkan keuangan desa kepada publik. Pertangungjawaban tidak hanya mereka lakukan dalam forum formal seperti musyawarah pertanggungjawaban Kades di depan BPD. Tapi menggunakan berbagai piranti sosial seperti temu warga hingga pemanfaatan media sosial. Capaian di atas kiranya dapat dimaknai sebagai bentuk kesiapan dan kemampuan desa menerima amanah dari negara untuk mengelola dan mendistribusikan sumber daya pembangunan kepada rakyat.
Disinilah kiranya makna sejati UU Desa. Bukan pada besaran DD-nya tapi kehendak kolektif bersama entitas desa untuk berprakarsa, bermusyarah dan melaksanakan pembangunan, seberapapaun kecilnya sumber daya yang dimiliki.*
Komentar
Posting Komentar